ANALISIS

Konflik PPP dan Maraknya Dualisme Parpol di Era Jokowi

CNN Indonesia
Selasa, 06 Sep 2022 12:14 WIB
Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa telah diberhentikan dari jabatannya. Posisinya untuk sementara digantikan oleh Muhammad Mardiono selaku Plt Ketum PPP.
Mantan Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa yang diberhentikan dari jabatannya di tengah jalan. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai maraknya dualisme kepengurusan partai yang terjadi di era Jokowi punya kaitan erat dengan kelompok berkuasa.

Ujang menjelaskan prinsipnya kelompok yang berkuasa tak ingin diganggu kerja dan kepentingannya oleh pihak lain. Karenanya, pihak berkuasa harus 'menaklukan' kelompok oposisi atau pihak bersebrangan yang dianggap 'menganggu'. Sehingga, wajar partai yang sebelumnya menentang pihak berkuasa, justru berbalik menjadi mendukung.

"Karakter kekuasaan biasanya ingin menaklukan parpol yang bersebrangan atau lawan politik. Intinya agar pemerintah aman dan tenang, maka harus ditaklukan dan meminimalisir oposisi," kata Ujang kepada CNNIndonesia.com, Selasa (6/9).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ujang lantas mencontohkan dualisme yang terjadi di internal PPP di tahun 2015 lalu dan Partai Berkarya tahun 2020 lalu. Kala itu, PPP di bawah pimpinan Suryadharma Ali mendukung pasangan Prabowo-Hatta Rajasa. Kemudian, Berkarya di bawah Tommy Soeharto mendukung Prabowo-Sandiaga Uno.

Ujang mengatakan Jokowi pasti membutuhkan dukungan besar parpol untuk menjalankan kinerja pemerintahan. Sehingga, parpol yang awalnya bersebrangan dipecah untuk mendukung pemerintah.

"Tak aneh dan tak heran, jika PPP, Partai Berkarya awalnya dukung Prabowo [di Pilpres] takluk dan merapat ke pemerintah. Suka enggak suka ya dipecah, siapa yang mecah? Ya yang punya kekuasaan," ujarnya.

Lebih lanjut, Ujang menjelaskan terdapat pola yang dilakukan oleh pihak berkuasa untuk menaklukan parpol lain agar bergabung. Caranya dengan menggandeng pihak di internal parpol yang punya loyalitas kepada penguasa. Cara lain adalah pihak berkuasa dapat menaruh seseorang dari eksternal untuk masuk ke suatu parpol.

"Ya dengan dipecah dari dalam ada yang persekutuan orang dalam dan luar. Berkarya itu kasusnya dari luar. Demokrat perpaduan internal dan eksternal, PPP dari dalam," kata Ujang.

Pragmatisme

Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati mengatakan fenomena konflik internal parpol merupakan fenomena gunung es. Ia menyoroti dualisme berakar pada lemahnya komitmen ideologi dan idealisme di internal parpol.

"Absenya nilai idealisme dalam politik ini yang membuat sikap pragmatisme politik, di mana hal itu yang menjadi sumber awal perpecahan," kata Wasis ketika dihubungi.

Wasis mengatakan sikap pragmatisme ini tidak selalu berujung pada afiliasi kekuasaan di level eksekutif yang ada sekarang. Namun, masih kuatnya orientasi parpol untuk bisa bertahan di lingkar kekuasaan untuk periode selanjutnya.

"Hal inilah yang berimplikasi pada berkurangnya komunikasi kepada kader di faksi internal lainnya dan akar rumput," ujarnya.

Tak hanya itu, Wasis juga mengungkap faktor faksionalisasi yang tak terkelola baik dalam tubuh partai jadi penyebab mudahnya parpol terpecah. Terlebih, faksionalisasi justru membuat pembelahan tajam pada perbedaan orientasi politik dalam tubuh parpol.

"Faksionalisasi ini juga erat kaitannya untuk mempertahankan patronase atas kontrol parpol," katanya.

(rzr/fra)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER