Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai bahwa Pilpres diikuti dua paslon sebetulnya bukan hal baru di Indonesia.
Menurut Titi hal ini merupakan konsekuensi dari aturan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 hingga 25 persen.
"Hal itu konsekuensi dari sulitnya untuk mengusung paslon karena adanya ketentuan ambang batas pencalonan presiden yang mewajibkan parpol dan gabungan parpol untuk memiliki minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah Pemilu DPR terakhir sebagai persyaratan untuk mengusung calon," kata Titi saat dihubungi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut dia hal itu akhirnya memaksa parpol untuk mau tidak mau bergabung dengan parpol lain untuk bisa mengusung paslon pada kontestasi Pilpres. Ia menekankan justru keberadaan ambang batas pencalonan presiden itu yang tidak demokratis.
Pasalnya, aturan itu menghambat partai-partai peserta pemilu untuk bisa mengusung kader terbaiknya di Pemilu dan merupakan perlakuan yang tidak setara bagi para parpol peserta pemilu.
Ketentuan soal ambang batas pencalonan presiden tercantum dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017. Ketentuan ini sudah berulang kali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), namun selalu gagal.
"Ketentuan itu memang problematik karena sudah berulang kali diuji ke MK, namun MK bergeming dengan alasan hal itu adalah kebijakan politik hukum terbuka pembuat UU," jelas Titi.
"Peta koalisi pencalonan akibat ambang batas pencalonan presiden itu akhirnya sepenuhnya elitis dan bergantung penuh pada kehendak elite atau pimpinan parpol," ungkap dia menambahkan.
Menurut Titi hal ini berimbas pada pemilih dan pengurus daerah ditinggalkan dan sama sekali dan tidak punya ruang untuk berpartisipasi dalam proses yang berlangsung. Padahal, seharusya proses tersebut berangkat dari aspirasi dari bawah.
"Hal itu jadi tidak memungkinkan dilakukan, karena partai tersandera aturan ambang batas pencalonan, di mana kalau parpol punya kader terbaik internalnya, hal itu sulit direalisasikan kalau parpol tidak memenuhi persyaratan ambang batas," jelas dia.
Titi menjelaskan bahwa keberadaan ambang batas pencalonan presiden itu justru berpeluang menciptakan proses koalisi yang tidak alamiah, transaksional, dan oligarkis. Oleh karena itu sudah seharusnya ambang batas pencalonan presiden dihapuskan.
Sebab, walaupun parpol beritikad baik mengusung calon, namun kalau konsensus atau kesepakatan diantara parpol tidak tercapai soal siapa yang akan diusung, hal itu juga tidak akan terwujud.
"Idealnya pilpres hadir dengan calon-calon yang beragam, bukan hanya dua pasangan calon yang potensial membelah persatuan masyarakat akibat politik emosional yang digunakan," jelas Titi.
"Tapi lagi-lagi karena regulasi memaksa parpol yang kursi dan suaranya tidak cukup untuk berkoalisi maka koalisi pencalonan bisa terbentuk atau tidak sepenuhnya bergantung pada elite partai," pungkasnya.
(ain/dmi/ain)