Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi Demokrat Dede Yusuf mengatakan sekitar 90 persen dari total 3128 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Indonesia dalam kondisi yang kurang sehat dan mengalami kesulitan dalam operasional.
"10 persen kondisinya baik, yang 90 persen boleh dikatakan kurang sehat dan kesulitan dalam operasionalnya," kata Dede dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Perguruan Tinggi Komisi X DPR RI, Senin (19/9).
Guna mengatasi masalah yang tesebut, pemerintah melakukan penggabungan perguruan tinggi. PTS yang kurang sehat itu sudah bergabung dengan PTS yang sehat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati demikian, dalam proses penggabungan itu ditemukan masalah baru. Permasalahan yang dihadapi PTS yakni pertama, kesenjangan antara PTS dan Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Dede menuturkan dikotomi PTS dan PTN ditunjukkan pada pola belanja negara khususnya di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Pembinaan atau bantuan yang diperuntukkan bagi PTS kurang dari enam persen dari anggaran. Sementara PTN menerima kurang lebih 94 persen dari total anggaran.
"Dikotomi ini seharusnya tidak terjadi mengingat PTN dan PTS memiliki tanggungjawab yang sama dalam meningkatkan partisipasi pendidikan tinggi," ujar Dede.
Kedua, masalah kualitas. Saat ini PTS mendidik sebanyak 72 persen mahasiswa, sehingga perhatian pada kualitas perlu ditingkatkan. Menurut Dede, tantangan yang harus dihadapi PTS adalah proses pendidikan terjamin dengan manajemen mutu yang baik.
"Upaya-upaya PTS untuk meningkatkan sarana dan prasarana, mutu dosen, mutu lulusan harus dapat didukung pemerintah," ucapnya.
Sebab, kata dia, dosen yang merupakan tulang punggung pendidikan masih banyak yang dalam kondisi memprihatinkan. Sekitar 49 persen dosen masih berpendidikan S-1 dan hampir 50 pesen dosen berstatus tidak tetap atau berinduk lebih dari dua organisasi.
Ia menilai hal itu menyebabkan pekerjaan dosen menjadi tidak optimal, sehingga perlu peningkatan kompetensi dan kesejahteraan.
"Hal ini terjadi di dosen-dosen PTS. Bahkan ada dosen yang hanya dapat honor Rp1,5 juta per bulan. Memprihatinkan sekali," kata Dede.
Ketiga, masalah relevansi. Dede mengatakan bahwa dunia industri membutuhkan banyak sarjana berbasis teknik untuk diterjunkan ke industri manufaktur. Namun, perguruan tinggi justru banyak menawarkan pendidikan berbasis sosial.
Kemudian, terakhir masalah kompetitif perguruan tinggi. Menurutnya, hal yang paling utama adalah bagaimana mendorong agar PTS dapat mengembangkan diri menjadi universitas riset untuk menghasilkan jurnal paten dan hak kekayaan intelektual (HAKI).
"Masalahnya risetnya kemudian dipakai atau tidak oleh dunia usaha dan dunia industri. Atau hanya sekedar istilahnya simbol-simbol," pungkasnya.