Ratusan tenaga kesehatan (nakes) dan non-nakes honorer demo di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Kamis (22/9). Mereka menuntut pemerintah agar mengangkat tenaga honorer menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Isu tenaga honorer di sektor kesehatan telah menjadi masalah menahun yang tak kunjung menemui titik cerah. Pemerintahan silih berganti, namun tuntutan belum juga terpenuhi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
CNNIndonesia.com menemui sejumlah honorer nakes maupun non-nakes yang ikut berdemo. Salah satunya Arinta (37) yang bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit di Kabupaten Tangerang.
Perempuan yang telah menjadi tenaga honorer sejak 2008 itu mengeluhkan sikap pemerintah terhadap nakes honorer, bahkan setelah Pandemi Covid-19 melanda Indonesia.
![]() |
Ia menilai pemerintah seolah tidak berkaca dengan peristiwa tersebut sehingga masih tidak memerhatikan kerisauan nakes dan non-nakes akan kesejahteraan.
"Dua tahun kemarin kita berjuang melawan Covid-19, tapi kok masa depan kita enggak diperhatikan. Banyak teman-teman kita yang gugur, lho," kata Arinta.
"Awalnya kita begitu dielu-elukan, begitu dibanggakan. Tapi ketika Covid selesai seolah kita enggak dianggap apa-apa lagi," lanjutnya.
Tenaga kesehatan harus diakui memiliki peran krusial dalam penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia. Di dalamnya, terdapat kontribusi nakes dan non-nakes honorer yang ikut menjadi garda terdepan selama pandemi.
Di sisi lain, tenaga kesehatan juga menanggung risiko tinggi selama menangani Covid-19. Susanti (39), petugas laboratorium dari sebuah Puskesmas di Kendal, Jawa Barat, bercerita pengalamannya selama pandemi.
Ia menjadi salah satu nakes yang harus berhadapan langsung dengan pasien terpapar Covid-19 di tengah keterbatasan fasilitas dan sumber daya manusia.
Di sisi lain, hingga kini Susanti mengaku belum mendapat apresiasi yang setimpal dengan pekerjaannya. Ia mengatakan selama ini hanya menerima janji yang tak kunjung dipenuhi.
"Kemarin itu kita pernah juga turun ke desa karena hampir dalam satu RW positif," kata Susanti.
"Kita tiap hari itu sampai swab 200 orang, padahal hanya 2 petugas. Kita setiap hari pakai (APD) kayak gitu terus, 'kan bisa dibayangkan seperti apa," lanjutnya.
![]() |
Jika ditelusuri ke belakang, para nakes mengaku nasib mereka tidak banyak berubah dari tahun ke tahun. Salah satu cerita diungkapkan Hetta (44), perawat dari satu Puskesmas yang sama dengan Susanti.
Ia telah bekerja sebagai tenaga honorer selama hampir 14 tahun, yakni sejak dirinya masih digaji Rp150 ribu. Namun sejak saat itu hingga kini, Hetta mengaku tidak mengalami perubahan signifikan dalam hal kesejahteraan.
Padahal, beragam hal telah dilakukan Hetta. Dari ikut aksi demonstrasi lebih dari sekali hingga sekadar pasrah dengan janji-janji pemerintah.
"Dari dulu kita gini-gini aja, hanya dijanjiin sama pemerintah. Saya juga udah ikut demo tiga kali. Itu pun sama, masih dijanj-janjiin," kata Hetta.
"Nantinya diangkat lah atau apa lah, gaji juga nanti mau disesuaikan. Tapi nyatanya enggak, sampai sekarang," lanjutnya.
Kini, Hetta bersama nakes lainnya menuntut pemerintah agar mereka diangkat menjadi ASN. Selain urusan ekonomi, ia mengungkapkan pengangkatan itu adalah bentuk pemerintah mengakui kontribusi nakes dan non-nakes honorer.
"Kalau sudah ASN berarti kita kan sudah diakui sama pemerintah. Berarti tenaga kita juga dihargai, jerih payah kita apalagi selama Covid kemarin, juga dihargai," sambungnya.
Namun, ihwal pengangkatan ASN hingga Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) juga dinilai membawa persoalan baru. Salah satunya berkaitan dengan tenaga honorer berumur yang sulit bersaing dengan fresh graduate.
Hal tersebut turut diungkapkan Edi (40), seorang perawat asal Kuningan yang telah bekerja selama 14 tahun. Edi menganggap dirinya sudah menua bersama pekerjaan karena tak kunjung mengalami peningkatan karier.
![]() |
Keadaan itu kemudian berakibat dengan masalah baru, yakni kesulitan bersaing dengan lulusan baru akibat usia yang tak lagi muda. Ia juga menilai tak semua pekerja honorer di daerah memiliki fasilitas memadai untuk mengikuti tes.
"Kalau yang baru-baru mah, masih fresh secara pendidikan, beda sama kita yang udah 10 tahun 15 tahun. Boro-boro mikir buat pelajaran kayak gitu," kata Edi.
"Di daerah juga tidak semuanya kayak di kota gede, ada yang jaringannya enggak bagus atau apa," lanjutnya.
Edi pun akhirnya hanya mengharapkan jalan pintas dari tangan pemerintah, yakni pengangkatan secara otomatis. Harapan itu juga diutarakan sejumlah nakes lain, terutama yang merasa secara teori tak lagi mampu bersaing dengan anak muda.
"Mudah-mudahan pengangkatan otomatis aja lah, mungkin bagi yang usia 40-45. Banyak sopir ambulans untuk megang pulpen aja harus mikir dua kali," pungkas Edi.
(frl/pmg)