DPR Ingatkan Johanis Tanak soal Biaya Eksekusi Kasus Korupsi KPK

CNN Indonesia
Jumat, 30 Sep 2022 00:45 WIB
Johanis Tanak terpilih jadi capim KPK ganti Lili Pintauli. (Lamhot Aritonang/ Detikcom)
Jakarta, CNN Indonesia --

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni mengingatkan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (capim KPK) terpilih pengganti Lili Pintauli Siregar, Johanis Tanak, terkait beban biaya penyidikan hingga eksekusi dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi.

Pernyataan itu disampaikan Sahroni merespons pernyataan Johanis yang mengaku akan mengusulkan agar KPK lebih mengutamakan pencegahan dibandingkan penindakan. Ia mengatakan, mengutamakan langkah pencegahan tidak berarti menghapuskan penindakan.

Sahroni pun mengingatkan bahwa biaya proses penyidikan hingga eksekusi terkadang lebih besar dibandingkan nilai korupsi dalam sebuah perkara.

"Langkah pencegahan memang harus dikedepankan dalam memberantas korupsi. Bukan berarti penangkapan dihapuskan, ini tetap penting dan wajib dilakukan. Tetapi biaya penyidikan sampai eksekusi ini sering juga menjadi beban baru bagi negara, yang kadang lebih besar dari nilai korupsinya," ujar Sahroni dai Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Kamis (29/9).

Atas dasar itu, ia berharap Johanis dapat memegang dan mengimplementasikan komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia dalam bentuk mekanisme yang baik dan ketat.

Sehingga tugas KPK dalam menekan atau menghapuskan korupsi ini benar-benar dapat tercipta. Pak Firli [Bahuri] bisa kita lihat sangat gahar dalam berantas koruptor, saya harap pak Johanis jangan mau kalah" tutur Sahroni.

Johanis sebelumnya mengaku akan mengusulkan agar KPK lebih mengutamakan pencegahan dibandingkan penindakan.

Menurutnya, penindakan tidak sejalan dengan upaya negara dalam penanganan perkara korupsi karena memakan biaya dalam proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga persidangan.

"Karena kalau penindakan menurut hemat saya, ketika saya selaku penyidik untuk menangani perkara korupsi cukup banyak biaya yang dikeluarkan negara untuk penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga eksekusi. Sedangkan dalam perkara korupsi, negara berupaya supaya jangan ada uang negara yang terkucur," ujar dia.

"Tetapi ketika kita menangani perkara korupsi uang negara bertambah yang terkucur. Terkucur di mana, pada saat penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan proses persidangan cukup besar biaya yang diperlukan," imbuh Johanis.

Menurutnya, pencegahan harus lebih diutamakan agar negara tidak keluar banyak uang dalam penanganan kasus korupsi.

"Sehingga lebih diprioritaskan bagaimana supaya uang negara tidak keluar banyak kemudian kita lebih mengutamakan pencegahan," ujarnya.

Ia juga menyatakan akan mengusulkan penanganan kasus korupsi lewat restorative justice bila menjadi pimpinan KPK nanti. Menurutnya, restorative justice dalam kasus korupsi mungkin dilakukan berdasarkan UU BPK

"Pasal 4 dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatakan apabila ditemukan adanya kerugian keuangan negara, tidak menghapus proses tindak pidana korupsi. Namun hal itu sangat dimungkinkan berdasarkan teori ilmu hukum yang ada bahwasanya peraturan yang ada sebelumnya dikesampingkan oleh peraturan yang ada setelah itu.

"Tetapi saya kemudian berpikir, kalau mengembalikan keuangan negara berarti pembangunan dapat berlanjut. Tapi dia sudah melakukan satu perbuatan yang menghambat pelaksanaan proses pembangunan," ujarnya.

Meski belum diatur di UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dia bilang, usul restorative justice dalam penanganan kasus korupsi bisa diisi lewat pembuatan sebuah peraturan.

(mts/dal)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK