Ombudsman RI meminta pemerintah segera membuat regulasi khusus yang mengatur pengangkatan penjabat (Pj) kepala daerah.
Anggota Ombudsman Robert Na Endi Jaweng mengatakan peraturan pemerintah (PP) mesti dibuat guna meningkatkan efektivitas pemerintahan. Ia berpendapat PP merupakan satu-satunya regulasi yang layak untuk mengatur soal ini.
"Ombudsman sampai hari ini masih bertahan pada posisi bahwa soal pengangkatan penjabat kepala daerah itu bukan di Permendagri tapi di Peraturan Pemerintah," kata Robert dalam diskusi publik di Gedung Ombudsman, Jakarta, Kamis (6/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Robert menjelaskan terdapat dua alasan mengapa PP menjadi regulasi yang tepat untuk mengatur pengangkatan penjabat kepala daerah.
Pertama, dari sisi dimensi prosedural, PP lebih memungkinkan untuk terbuka dalam hal partisipasi publik ketimbang peraturan menteri dalam negeri (Permendagri).
Hal itu lantaran PP tidak seperti Permendagri yang terlalu operasional dan birokratif yang hanya melibatkan akademisi hingga konsultan.
"Jarang sekali peraturan di level kementerian itu terbuka bagi publik," ujar Robert.
Kedua, dari sisi substantif, penerbitan PP sendiri menurutnya telah diatur berdasarkan amanat UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu Pasal 86 Ayat 6. Diketahui, pasal tersebut berbunyi: "ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan masa jabatan penjabat gubernur dan bupati/wali kota diatur dalam peraturan pemerintah."
"Undang-undang 23/2014 Pasal 86 Ayat 6 sudah 8 tahun lalu memerintahkan untuk menyusun PP penjabat kepala daerah. Tidak ada kata Permendagri," tutur Robert.
Selain itu, Robert juga menilai penetapan pengangkatan penjabat kepala daerah mestinya diatur sepenuhnya oleh PP. Sebab, penunjukan pj tersebut tidak hanya dilakukan oleh Kemendagri, tetapi juga Presiden.
Mendagri diketahui hanya bisa mengangkat penjabat setingkat bupati/walikota, sementara gubernur diangkat presiden.
"Coba bayangkan kalau Presiden menjalankan tata cara penetapan tetapi regulasi yang dirujuk itu Permendagri, enggak nyambung itu," ucap Robert.
"Jadi ada level di mana Permendagri itu tidak bisa dijadikan rujukan. Itu adalah level ketika Presiden menjalankan penetapan pengangkatan," lanjut dia.
Sebelumnya, Ombudsman mengklaim menemukan tiga dugaan malaadministrasi dalam proses penunjukan penjabat kepala daerah oleh Kementerian Dalam Negeri.
Temuan itu merupakan tindak lanjut dari laporan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, yaitu Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Perludem.
Ketiga dugaan maladministrasi itu antara lain penundaan pemberian tanggapan oleh Kemendagri ihwal permohonan informasi dan keberatan atas penunjukkan penjabat kepala daerah, penyimpangan prosedur terkait pengangkatan pj kepala daerah, serta pengabaian kewajiban hukum atas putusan Mahkamah Konstitusi.
Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benni Irawan pun menegaskan Kemendagri tidak melakukan maladministrasi seperti yang disampaikan Ombudsman RI. Benni menyampaikan Kemendagri tidak melakukan penundaan berlarut terhadap permintaan informasi pelapor, penyimpangan prosedur penunjukan penjabat kepala daerah, maupun pengabaian kewajiban hukum atas putusan MK sebagaimana temuan Ombudsman.
Saat ini, kata Benni, Kemendagri bahkan tengah menyusun peraturan pelaksana berupa Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) guna mendukung putusan MK Nomor 15/PUU-XX/2022.
"Penyusunan peraturan pelaksana itu masih berlangsung dengan melibatkan berbagai pihak, dan dilakukan secara cermat agar produk hukum yang dihasilkan dapat menjawab kebutuhan yang telah disuarakan," ujar Benni.