Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) memutarkan video rekaman detik-detik terjadinya kerusuhan di Paniai, Papua, di Lapangan Karel Gobay yang terjadi 8 Desember 2014 silam di hadapan majelis hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), Makassar, Sulawesi Selatan, kemarin.
Dalam video tersebut terlihat sejumlah warga Paniai mendatangi kantor Koramil 1705-02/Enarotali yang berada di depan lapangan Karel Gobay setelah peristiwa penganiayaan pada malam tanggal 7 Desember 2014.
Namun, saat warga mendekat tiba-tiba terdengar suara rentetan tembakan senjata api yang diduga berasal dari kantor Koramil dan kantor Polsek Enarotali.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Suara tembakan itu dari polsek dan koramil. Rumah saya dari TKP berjarak satu kilometer. Saya tidak mendengar siapa duluan menembak tapi suara tembakan itu bersamaan," kata Ketua Dewan Adat Paniai, Jhon Gobay yang memberi kesaksian dalam sidang kasus HAM berat di PN Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (6/10).
Jhon menerangkan massa yang berkumpul di Lapangan Karel Gobay pada saat itu merupakan warga Paniai. Mereka ingin menuntut pelaku penganiayaan terhadap 12 anak-anak yang berada di pondok natal Gunung Merah pada 7 Desember 2014.
"Mereka biasanya kalau ada kasus menuntut pertanggungjawaban dari pelaku yang melakukan penganiayaan pada malam tanggal 7 tersebut. Mereka meminta pertanggungjawaban," ungkapnya.
Kasus penganiayaan yang terjadi pada 7 Desember 2014 itu, kata Jhon, berawal ketika anak-anak yang masih berusia belasan tahun itu sementara berada di pondok Gunung Merah untuk perayaan Natal. Kemudian melintas seorang pengendara sepeda motor yang merupakan prajurit TNI yang tidak menyalakan lampu kendaraannya.
"Karena itu anak-anak ini menegur untuk menyalakan lampu kendaraannya. Tapi, teguran itu tidak diterima dan prajurit itu akan datang kembali bersama rekan-rekannya. Kemudian mereka datang langsung melakukan penganiayaan," tuturnya.
Menurut Jhon, inti dari permasalahan penganiayaan tersebut hanyalah meminta pertanggungjawaban dari para pelaku penganiayaan yang diduga dilakukan prajurit TNI.
"Poinnya karena tidak klir, tidak diselesaikan sehingga dilakukan pemalangan jalan," ujarnya.
Kemudian dilakukan negosiasi oleh pihak Polres Paniai. Tapi, kata Jhon tiba-tiba ada suara tembakan dari pos Timsus 753 ATV.
"Tembakan dari lokasi tidak terlihat itu bukan dari pihak ketiga," tuturnya.
Jhon lalu memaparkan kesatuan aparat yang markasnya ada di Paniai yakni Polsek Enarotali, Koramil 1705-02/Enarotali, pos Timsus Yonif 753/AVT, Batalyon 763 Nabire.
"Ada Brimob yang merupakan BKO dari Polda Papua, ada pos Kopassus dan juga pos Paskhas. Mereka ini pos dekat dari lapangan Karel Gobay. Ada juga Bais dan BIN tapi saya tidak tahu posnya dimana," bebernya.
Jhon menerangkan pada saat itu seluruh personel tersebut berada di depan posnya masing-masing untuk menghadapi masyarakat yang waktu itu jumlahnya tidak hampir seratus orang.
Kemudian pada 8 Desember sekitar pukul 10.00 WIT, kata Jhon, dirinya mendapatkan kabar jika sudah ada empat orang anak-anak yang tewas tertembak dan 17 orang yang mengalami luka-luka.
"Informasi yang kami terima ada empat orang meninggal dunia akibat tertembak. Tapi kita belum dapat pasti nama-nama yang tewas dan terluka. Kemudian pada malam hari barulah kita pastikan namanya yang meninggal dunia yakni Alpius Youw, Alpius Gobay, Yulian Yeimo dan Simon Degei," terangnya.
Dalam persidangan kasus pelanggaran HAM Paniai ini, Tim JPU menghadirkan empat orang saksi yakni, eks Kapolres Paniai, AKBP (Purn) Daniel T Prionggo, mantan Wakapolres Paniai, Kompol (Purn) Hanafi, Ketua Dewan Adat Paniai, Jhon Gobay dan Ketua Distrik Paniai Timur, Pius Gobay.
Majelis hakim yang memulai sidang sejak pukul 10.00 WITA hingga pukul 20.48 WITA dan akan kembali dilanjutkan pada Senin 10 Oktober 2022 mendatang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi.