Video singkat di Pasar Pondok Gede, Bekasi itu menjadi viral dan ditonton ribuan orang. Puan Maharani sedang melempar kaos ke berbagai arah dengan muka tanpa senyum. Ketua DPR sekaligus salah satu kandidat calon presiden PDI Perjuangan ini dikritik bersikap cemberut saat menemui rakyat kecil.
Puan adalah salah satu kader utama PDIP. Bukan hanya sebagai salah satu Ketua DPP dan salah satu kandidat capres, Puan juga adalah anak dari Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.
Sejak beberapa bulan terakhir memang muncul spekulasi Puan memang sedang habis-habisan 'diperkenalkan' pada pemilih. Sejak pertengahan 2021, baliho ukuran raksasa disebar di berbagai kota di Indonesia dengan wajah keibuan Puan berkebaya bertulis Kepak Sayap Kehinnekaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak pertengahan tahun ini baliho Puan bertuliskan Cucu Bung Karno ganti muncul di berbagai lokasi strategis. Selain bagi kaos, Puan juga tampil menanam padi di Badung, Bali, dan bahkan membantu membuat pondasi bangunan di Wonogiri, Jawa Tengah.
Hasilnya, belum kelihatan. Setidaknya menurut serangkaian survei yang digelar sepanjang setahun terakhir. Salah satu yang terbaru, studi eksperimental dalam survei nasional SMRC menunjukkan bahwa dibanding para kandidat capres seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo atau Prabowo Subianto, nama Puan tidak cukup menciptakan efek ekor jas (coattail effect), yakni tambahan suara yang didapat partai dari pemilu legislatif akibat dukungan terhadap capres yang diajukan partai tersebut untuk pilpres.
"Mbak Puan tidak meningkatkan elektabilitas PDIP kalau dia dicalonkan," kata Saiful Mujani saat menjelaskan hasil studi melalui rilis pers pekan lalu. Sementara Anies, Ganjar dan Prabowo masing-masing menyumbang efek pemilih tambahan yang signifikan jika diumumkan PDIP sebagai capres.
Puan Maharani adalah satu dari 123 orang perempuan anggota DPR saat ini. Jumlah ini merupakan 21,6% dari total anggota DPR - di bawah target 30% keterwakilan perempuan yang diamanatkan UU Pemilu. Jumlah ini juga masih di bawah rerata global yang mencapai 26% perempuan di DPR menurut Inter-Parliamentary Union.
Dibanding dengan awal reformasi lebih dari 23 tahun lalu yang hanya 9%, jumlah ini sebenarnya sudah jauh bertambah. Mengejar angka 30% terbukti sangat merepotkan bagi semua partai dan bahkan akhirnya seperti ditunjukkan oleh studi Perludem tahun 2014, partai yang kekurangan caleg perempuan kemudian "mencomot dari mana saja" asal kuota terisi.
Dari hasil akhir yang masih di bawah ideal ini, pemerhati pemilu Titi Anggraini menyebut peran politisi perempuan di parlemen saat ini adalah "memberi warna" dalam kerja-kerja legislasi.
"Misalnya dalam pembentukan UU TPKS, revisi UU Perkawinan terutama terkait usia minimal kawin, UU Penyandang Disabilitas, dan sejumlah legislasi lainnya. Meski, harus juga diakui bahwa politisi perempuan juga jadi bagian dari sejumlah legislasi bermasalah,"kata Titi kepada CNN Indonesia melalui aplikasi tukar pesan.
Dalam kasus UU TPKS, rancangannya sudah diajukan sejak tujuh tahun lalu mengalami pembahasan alot karena perbedaan sudut pandang dalam menangani korban kekerasan seksual. RUU akhirnya disahkan Mei lalu dengan perjuangan keras politisi perempuan lintas partai.
Tetapi sistem politik dan pemilu yang kini berlaku di Indonesia, belum menjamin calon terbaik, termasuk perempuan, yang akan terpilih. Sandungan utamanya ada beberapa lapis termasuk warisan kepercayaan bahwa politisi laki-laki lebih mampu dari perempuan.
Rahayu Saraswati, wakil Ketua Partai Gerindra, mengaku turut merasakan hal ini saat masuk arena politik.
"Faktor budaya. Budaya patriarki yang bahkan dimiliki pemilih perempuan, bisa dirasakan - di mana bahkan perempuan tidak percaya perempuan bisa memimpin sebaik laki-laki. Ketidakpercayaan ya, lebih dari segi perempuan tidak pilih perempuan sih, mindset budaya," kata Saraswati melalui pesan instan, Selasa (4/10).
Perempuan dengan dua anak ini sempat dicalonkan sebagai wakil walikota Tangsel pada Pilkada 2020 mewakili koalisi tujuh partai termasuk Gerindra, PDIP dan Nasdem, meski kemudian gagal.
Seperti Puan Maharani yang merupakan anak Megawati, Saras yang juga keponakan pendiri Partai Gerindra, Prabowo Subianto, relatif lebih mudah mengakses politik karena faktor keluarga. Fenomena ini adalah salah satu fitur utama dalam politik praktis di Indonesia saat ini.
Studi dua ahli politik UI, Sri Budi Eko Wardhani dan Valina Singka, menunjukkan dalam Pemilu 2019 44% perempuan yang dicalonkan merupakan bagian dinasti politik. Akses masuk politik dijaga sangat kuat oleh partai politik, hingga muncul fenomena yang disebut Titi Anggraini sebagai 'politik proxy'.
"Dalam beberapa kasus misalnya, politisi perempuan bahkan menjadi proxy atau sekadar perpanjangan tangan kepentingan dari aktor politik yang juga merupakan kerabatnya. Bisa suami, bapak, ibu, kakak, maupun adik. Praktik ini terjadi dikontribusikan oleh sistem pencalonan partai yang tertutup, elitis, kurang demokratis, transaksional, dan mengabaikan kaderisasi", tambah Titi.
Untuk mendapat gambaran lebih sempurna, Titi menekankan pentingnya melihat pula wajah perempuan di jalur politik non-patisan. Misalnya komisioner pada lembaga-lembaga independen negara seperti KPU, Bawaslu, KPI, KPAI, Ombudsman, dan Komnas HAM yang mewarnai banyak pengambilan keputusan negara.
Berdasar kriteria tentang besarnya pengaruh, Titi menunjuk Megawati Soekarno Putri, Sri Mulyani, Puan Maharani, Khofifah Indar Parawansa, dan Susi Pudjiastuti sebagai perempuan paling diperhitungkan dalam politik Indonesia saat ini.