Salah satu nama politisi perempuan paling berpengaruh yang disebut Titi Anggraini, Susi Pujiastuti, malah tidak merasa dirinya sebagai politisi. Hal ini diamini oleh Susi meski dirinya pernah memegang jabatan tinggi di dunia politik, Menteri Kelautan dan Perikanan.
"Saya tidak pernah merasa pernah berada di dunia politik. Memegang jabatan publik sebagai menteri adalah jabatan publik sebagai profesional. Saya belum termotivasi masuk dunia politik, jadi belum naik panggung politik," kata Susi melalui pesan singkat, Selasa (4/10) lalu.
Yang tak bisa dibantah adalah base pengikut Susi yang cukup besar di media sosial; 3,5 juta di Twitter dan bahkan 3,8 juta di Instagram. Perempuan pengusaha perikanan dan maskapai penerbangan ini rajin berinteraksi dengan publik lewat dua akun itu, mulai dari isu makan ikan sampai Kanjuruhan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah menjabat sebagai Menteri KKP dalam Kabinet Presiden Jokowi sampai 2019, Susi mengaku "sampai dengan hari ini belum" berniat masuk gelanggang politik.
Seperti Rahayu Saraswati, Susi juga melihat dunia politik didominasi oleh sentimen gender yang tinggi sehingga belum memberi kesempatan setara kepada perempuan. Di luar itu, masih ada persoalan akses masuk gelanggang yang kuncinya dipegang hanya oleh segelintir orang.
"Dunia politik terutama parpol yang ada milik keluarga atau milik kelompok kecil kroni. Hampir tidak ada yang terbuka for just anybody," tambahnya.
Saat ditanya apakah pamor politisi perempuan Indonesia jadi redup dalam situasi saat ini, Susi menjawab singkat: "Secara general diredupkan .. sementara yang dimunculkan yang memang tidak bisa bersinar."
Dominasi terhadap akses ini sudah muncul dalam temuan berbagai analisis. Karena kuatnya peran Ketua dan pengurus partai, ekspresi individual politisi menjadi sangat terbatas - untuk laki-laki dan perempuan. Ruang untuk berseberangan sikap dengan partai nyaris tidak ada, meskipun jika sikap itu dianggap merugikan pemilih.
Tentu saja tidak bisa dipukul rata semua kebijakan partai merugikan konstituen. Dalam hal kebijakan memajukan politisi perempuan dari lingkaran dinasti pengurus partai, Rahayu Saraswati mengatakan penilaian tentang kinerja si politisi itu mestinya datang dari masyarakat.
Pertanyaan tentang kinerja politisi perempuan ini juga diajukan pada Puan Maharani, namun belum dijawab hingga terbitnya artikel ini. Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Rivana Pratiwi dari CNN Indonesia, Maret lalu Puan mengatakan dirinya menyandang stigma.
"Puan Maharani itu mampu apa tidak ya dilihat dari kinerjanya. Jangan karena mungkin saya jarang tampil atau enggak mau narsis terus 'Puan enggak pernah kerja'. Lihat dulu dong kerjanya. Saya manusia biasa punya banyak kekurangan. Kalau orang tidak mengenal saya mungkin karena memang tidak mau mengenal, karena ada stigma 'Puan enggak mau kerja, hanya karena privilege jadi nggak bisa apa-apa'. Tapi tolong objektif lah dalam menilai seseorang," kata Puan.
(dsf/sur)