Koalisi Masyarakat Sipil Ungkap 12 Temuan Awal Tragedi Kanjuruhan
Tim pencari fakta Koalisi Masyarakat Sipil mengungkap 12 temuan awal pelanggaran HAM di Stadion Kanjuruhan, Malang pada Sabtu (1/10).
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari LBH Pos Malang, LBH Surabaya, YLBHI, Lokataru, IM 57+ Institute dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengatakan telah menginvestigasi tragedi itu selama tujuh hari.
Kepala Divisi Hukum KontraS Andi Muhammad Rizaldi menjelaskan sebagian temuan tersebut dalam konferensi pers secara daring pada Minggu (9/10). Kemudian dilengkapi pada rilis pers yang dibagikan setelahnya.
Andi mengatakan temuan pertama berkaitan momentum awal penembakan gas air mata oleh aparat kepolisian.
"Kami menemukan bahwa pengerahan aparat keamanan atau mobilisasi berkaitan dengan aparat keamanan yang membawa gas air mata itu dilakukan pada tahap pertengahan babak kedua [Pertandingan Arema FC vs Persebaya]," ujar Andi dalam konferensi pers.
Padahal, dalam konteks atau situasi saat itu, kata Andi, tidak ada akan ancaman atau potensi gangguan keamanan. Pihaknya menilai hal tersebut sebagai sesuatu yang ganjil.
Temuan kedua terkait motivasi suporter turun ke lapangan hijau yang direspons dengan tindak kekerasan aparat. Akibatnya, suporter lain ikut turun ke lapangan.
"Suporter yang turun ke lapangan sebetulnya mereka melakukan dorongan motivasi dan juga moril kepada sejumlah pemain. Namun, sejumlah penonton yang masuk ke dalam lapangan itu direspons secara berlebihan oleh aparat keamanan dan kemudian melakukan sejumlah tindak kekerasan," kata Andi.
"Hal inilah yang kemudian, para suporter lain ikut turun ke dalam lapangan bukan untuk melakukan penyerangan tetapi untuk menolong suporter lain yang mengalami tindak kekerasan dari aparat keamanan," imbuh dia.
Temuan ketiga membahas tahapan penggunaan kekuatan menurut Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
Berdasarkan Perkap itu, jelas Andi, aparat kepolisian tidak diperbolehkan langsung menggunakan upaya penembakan gas air mata. Sebab, terdapat sejumlah tahapan awal yang mesti dilalui terlebih dahulu.
"Dalam konteks kasus ini, aparat kepolisian langsung menembakkan gas air mata ... Jadi tahapan-tahapan yang seharusnya dilalui itu tidak dilakukan oleh aparat kepolisian dan langsung menembakkan gas air mata," terang Andi.
Sebagai informasi, Pasal 5 ayat 1 Perkap Nomor 1 Tahun 2009 menjelaskan ada enam tahapan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, yaitu pencegahan; perintah lisan; kendali tangan kosong lunak; kendali tangan kosong keras; kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri; kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat.
Temuan keempat mengungkapkan keterlibatan prajurit TNI dalam peristiwa tersebut.
"Bahwa tindak kekerasan yang dialami para suporter, tidak hanya dilakukan oleh anggota Polri tetapi juga dilakukan oleh prajurit TNI dengan berbagai bentuk seperti menyeret, memukul, dan menendang," ungkap dia.
Temuan kelima tentang arah penembakan gas air mata yang ditujukan tidak hanya di area lapangan, tetapi juga ke bagian tribun sisi Selatan, Timur, dan Utara.
"Hal itu kemudian yang mengakibatkan kepanikan luar biasa yang dialami para suporter kemudian berdesak-desakan untuk keluar stadion," tutur Andi.
Temuan keenam berkaitan kondisi akses evakuasi yang sempit. Terjadi penumpukan penonton yang ingin keluar stadion di sejumlah pintu karena kondisi pintu terkunci.
"Bahwa di dalam ruangan yang sangat terbatas tersebut, diperparah dengan masifnya penembakan gas air mata oleh aparat kepolisian. Hal ini berdampak sangat fatal yang mengakibatkan para korban sulit bernafas hingga menimbulkan korban jiwa," jelas dia.
Temuan lainnya berlanjut di halaman berikutnya ...