Eks Pangdam Cenderawasih Mayjen TNI (Purn) Fransen Goncang membeberkan perihal peluru tajam dalam kesaksiannya di sidang kasus HAM Paniai Papua yang digelar di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (14/10).
Terkait ketersediaan peluru tajam dalam penanganan kericuhan berujung tragedi kekerasan maut di Paniai pada 2014, Fransen mengatakan karena daerah itu tergolong rawan. Ia mengaku hanya peluru tajam yang disediakan di kesatuan di Paniai itu.
"Kenapa itu peluru tajam. Karena keterbatasan peluru memang dalam proyek itu ada peluru tajam, karet dan hampa. Tapi karena keterbatasan anggaran. Peluru karet dan hampa itu tidak diberikan ke koramil itu, karena daerah rawan," ujar Fransen dalam kesaksiannya di hadapan majelis hakim HAM.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada sidang sehari sebelumnya, Letda Wardi Hermawan yang merupakan babinsa selaku penjaga gdang senjata di Koramil 1705-02/Enarotali mengaku tak ada peluru hampa yang disediakan di sana saat peristiwa Paniai.
Pada sidang lanjutan, Kamis lalu, Fransen membeberkan situasi di kantornya terkait peristiwa Paniai Berdarah pada 2014 silam.
Fransen mengaku saat itu dirinya tak dapat laporan sesaat terkait peristiwa penganiayaan terhadap warga sipil di pondok natal Tanah Merah di Paniai, 7 Desember 2014 lalu hingga terjadinya penembakan di lapangan Karel Gobay yang berada di depan kantor Koramil 1705/Enarotali.
"Tidak ada laporan. Jadi nanti setelah kejadian, baru saya dapat laporan dari komandan Korem. Terjadi demo besar-besaran mengakibatkan masyarakat ke kantor polsek dan koramil. Jadi terjadi chaos," kata Fransen di hadapan majelis hakim.
Ketika sudah mendapat laporan perihal kekacauan di lapangan Karel Gobay, dirinya baru melakukan langkah-langkah. Hal yang mula dilakukan adalah bertanya mengenai tindakan Danramil Enarotali kala itu.
"Saat itu saya tanya di mana dandim dan di mana danramil, apa tindakan mereka ini. Komandan Korem itu bilang komandan Kodim tidak ada dan komandan Koramil juga tidak ditempat," tuturnya.
Setelah itu, kata Fransen, dirinya mengutus asisten bidang intelijen (Asintel) Kodam XVII Cenderawasih untuk mencari informasi terkait peristiwa yang terjadi di Paniai.
"Boleh [saja] saya kesana. Tapi kan saya harus berpikir, mengkaji dan analisa ini kejadian. Kondisi cuaca juga saat itu dan pesawat ke lokasi tidak ada. Asintel saya saja dua hari di Biak baru bisa melanjutkan perjalanan ke daerah Paniai," ujar Fransen.
"Asintel pakai pesawat komersial, memang ada helikopter (dua), Belt dan MA17 tetapi kondisi Papua kita tidak bisa perkirakan, hari ini cerah atau disini cerah di balik bukit atau gunung itu ada hujan," tambahnya.
Dalam persidangan lanjutan kasus pelanggaran HAM Paniai yang berlangsung Kamis lalu, Tim Jaksa Penuntut (JPU) mengahdirkan beberapa saksi dari aparat selain Fransen. Saksi lain adalah beberapa perwira Kodam XVII, eks Wakapolri, Komjen Pol (Purn) Ari Dono Sukmanto, dan Brigjen Pol John Carles Edison Nababan.