Jakarta, CNN Indonesia --
Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) telah mengumumkan hasil investigasi terkait Tragedi Kanjuruhan. Dokumen hasil investigasi itu pun sudah di meja Presiden Jokowi pada Jumat (14/10).
TGIPF yang dipimpin oleh Menko Polhukam Mahfud MD menyoroti berbagai hal, mulai dari kejanggalan jam laga, hingga penggunaan kekuatan aparat.
TGIPF meminta Ketua Umum PSSI dan seluruh jajaran Komite Eksekutif mengundurkan diri sebagai bentuk tanggung jawab moral. Kepada penegak hukum, TNI/Polri diminta segera menindaklanjuti penyelidikan atas tindakan berlebihan. TGIPF juga menyoroti dari sisi PT Liga Indonesia Baru (LIB), security officer, dan panitia pelaksana yang dianggap lalai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rekomendasi telah disampaikan. Namun sebagian kalangan menilai implementasi dari rekomendasi itu jalan di tempat. Anggota Exco PSSI Vivin Cahyani Sungkono misalnya, enggan membeberkan sikap pihaknya. Dia malah berkata PSSI masih menunggu hasil evaluasi dari gugus tugas.
"Kalau dari kami menunggu hasil evaluasi dari task force [gugus tugas] yang baru dibentuk dan selanjutnya teman-teman media pasti akan diberikan hasil evaluasinya," kata Vivin yang didampingi Hasani Abdulgani.
Kepolisian juga belum ada pernyataan secara resmi akan mematuhi semua rekomendasi TGIPF. Kepolisian hanya baru berkomitmen tidak akan lagi menggunakan gas air mata di dalam pengamanan pertandingan sepak bola.
"Peralatan-peralatan pengendalian massa, dan peralatan-peralatan yang dapat memprovokasi massa di stadion, itu tentunya tidak digunakan kembali," kata Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo.
Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti menilai setelah keluarnya rekomendasi dari TGIPF, seharusnya semua pihak terkait menerima dan menjalankannya.
Bivitri menyebut idealnya Presiden Joko Widodo tidak perlu sampai menggunakan mekanisme tambahan agar rekomendasi itu dijalankan. TGIPF, kata dia, merupakan tim yang dibentuk oleh presiden langsung. Pembentukan TGIPF itu didasari Keppres Nomor 19 Tahun 2022.
Namun, kata dia, jika semua pihak terkait tak menganggap serius dan menjalankan rekomendasi itu, maka Jokowi harus 'turun tangan' langsung.
"Jadi saya kira ini ujian kepemimpinan bagi seorang Joko Widodo. Apalagi ini keppres dia sendiri yang tulis," kata Bivitri kepada CNNIndonesia.com, Selasa (19/10).
"Ketegasan dia (Jokowi) diuji, seandainya orang-orangnya tidak mau melaksanakan, itu artinya dia membangkang terhadap perintah presiden," imbuhnya.
Berlanjut ke halaman berikutnya...
Menurut Bivitri, Jokowi bisa memulai menegur langsung dan memberi batas waktu para pihak terkait untuk menjalankan rekomendasi TGIPF. Jika imbauan itu tidak diindahkan, kata Bivitri, Jokowi harus menindak secara lebih tegas para pihak tersebut.
"Akhir minggu ini harus ngasih statemen resmi apapun itu kalau dia membangkang betul, dicopot aja," tuturnya.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar juga berpendapat serupa. Jika semua pihak yang terkait itu tidak menjalankan rekomendasi, maka bisa diberhentikan.
"Karena melawan perintah atasan. Dan itu (rekomendasi) sebenarnya bersifat memaksa dari perintah presiden sebagian kepala negara kepada aparaturnya," ucapnya.
Usut tuntas secara hukum
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Padang Feri Amsari menilai presiden sudah sepatutnya 'keras' dan memastikan rekomendasi itu dijalankan.
Menurut Feri, tragedi Kanjuruhan adalah petaka kemanusiaan. Sebanyak 133 nyawa melayang dalam tragedi ini. Sementara, lebih dari 400 orang mengalami luka-luka.
"Rekomendasi TGIPF sudah kuat cuma nyawanya ditentukan kebijakan dan tindakan negara dalam hal ini presiden dan jajarannya," kata Feri kepada CNNIndonesia.com.
Dalam konteks PSSI, kata Feri, Jokowi bisa memastikan mereka diproses secara hukum, jika faktanya terbukti bersalah. Feri menilai pengurus PSSI tidak bisa lepas begitu saja dan berlindung mengatasnamakan FIFA.
"PSSI memang tidak bisa dicampuri negara, tapi pengurusnya bisa ditindak hukum oleh negara," ujar dia.
Tak hanya pengurus PSSI, menurut Feri, semua pihak yang dinyatakan bersalah dan turut membuah ratusan orang meninggal dunia harus bertanggung jawab secara hukum. Sementara itu, dalam konteks kepolisian, presiden harus melakukan langkah yang lebih jauh, yakni reformasi lembaga.
"Ratusan orang meninggal tapi seolah olah tak ada rasa bersalah dalam bentuk pembaruan kelembagaan dan kebijakan. Kalau menurut saya presiden harus reformasi kepolisian," ucapnya.
Menurutnya, presiden harus bergerak. Jika tidak, maka presiden dapat dikatakan juga mengabaikan sejumlah pelanggaran oleh para pihak terkait.
"Saya pikir memang presiden harus mereformasi total semuanya tidak hanya PSSI, sistem pertandingan, tetapi juga aparat," pungkasnya.
Hal senada juga disampaikan Pengamat Hukum Universitas Trisaksi, Abdul Fickar Hadjar. Dia menyebut pengurus PSSI dapat dikenakan Pasal 359 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) karena telah lalai dan menyebabkan kematian.
"Ada kelalaian dalam peristiwa itu," ujarnya.
Pasal 359 KUHP menyebut: "Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun."