Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur ancaman pidana bagi pihak-pihak yang secara sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi termasuk obat yang tidak memenuhi standar.
Pasal 196 UU Kesehatan mengatur ancaman pidana penjara 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar terhadap setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu.
Pakar hukum pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan mengatakan perlu kajian mendalam untuk mengenakan jerat pidana dalam kasus penarikan beberapa obat sirop dari sejumlah perusahaan farmasi baru-baru ini oleh BPOM.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Untuk menentukan dapat atau tidaknya dipidana diperlukan kajian yang mendalam. Jadi, ada unsur "kesengajaan" yang harus dipenuhi dan tergantung juga pada standar yang disyaratkan BPOM," ujar Agustinus kepada CNNIndonesia.com melalui pesan tertulis, Jumat (21/10).
"Kajian itu harus meliputi juga ditemukan adanya hubungan kausal. Saya menduga, kalaupun ada hubungan kausal sepertinya ada kombinasi dengan sebab yang lain. Jadi, kemungkinan tidak berdiri sendiri," ucap Agustinus.
Sejauh ini terdapat lima sirop obat yang diminta BPOM untuk ditarik dari peredaran terkait kasus gagal ginjal akut. Lima obat sirop dimaksud disebut mengandung senyawa etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) melebihi ambang batas aman.
Sebagai informasi, berdasarkan farmakope dan standar baku nasional yang diakui, ambang batas aman atau Tolerable Daily Intake (TDI) untuk cemaran EG dan DEG sebesar 0,5 mg/kg berat badan per hari.
Adapun sirop obat dimaksud yaitu Termorex Sirup (obat demam) produksi PT Konimex dan Flurin DMP Sirup (obat batuk dan flu) produksi PT Yarindo Farmatama.
Kemudian Unibebi Cough Sirup (obat batuk dan flu), Unibebi Demam Sirup (obat demam), dan Unibebi Demam Drops (obat demam) yang merupakan produksi Universal Pharmaceutical Industries.
Sirop obat yang diduga mengandung cemaran EG dan DEG kemungkinan berasal dari empat bahan tambahan yaitu propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol, yang bukan merupakan bahan berbahaya atau dilarang digunakan dalam pembuatan sirop obat.
Namun demikian, disampaikan BPOM, hasil uji cemaran EG tersebut belum dapat mendukung kesimpulan bahwa penggunaan sirop obat tersebut memiliki keterkaitan dengan kejadian gagal ginjal akut.
Sebab, selain penggunaan obat, terdapat beberapa faktor risiko penyebab kejadian gagal ginjal akut seperti infeksi virus, bakteri Leptospira, dan multisystem inflammatory syndrome in children (MIS-C) atau sindrom peradangan multisistem pasca-Covid-19.
BPOM telah memerintahkan kepada industri farmasi pemilik izin edar agar menarik kembali sirop obat dari peredaran di seluruh Indonesia dan pemusnahan untuk seluruh bets produk.
Penarikan mencakup seluruh outlet antara lain Pedagang Besar Farmasi, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik, Toko Obat, dan praktik mandiri tenaga kesehatan.
BPOM juga memerintahkan kepada semua industri farmasi yang memiliki sirop obat yang berpotensi mengandung cemaran EG dan DEG untuk melaporkan hasil pengujian mandiri sebagai bentuk tanggung jawab pelaku usaha.
(ryn/ain)