Jawa Masih Jadi Kunci di Pilpres 2024
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyatakan dirinya tak mungkin terpilih menjadi presiden menggantikan Joko Widodo (Jokowi). Sebab, kata dia, presiden yang nantinya terpilih pasti orang Jawa.
"Siapa pun yang terpilih jadi presiden, yang pasti bukan saya. Karena presiden berikutnya orang Jawa, trennya begitu," kata Erick dalam acara Road to G20 bersama Himpuni.
Sebelum Erick, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan juga pernah menyampaikan hal serupa.
Bahkan, Luhut menyebut bahwa orang-orang dari luar Jawa harus sadar diri jika berpikiran untuk maju sebagai calon presiden setidaknya dalam waktu dekat ini.
"Apa harus jadi presiden saja kau bisa mengabdi? Harus tahu diri juga lah, kalau kau bukan orang Jawa," ujar Luhut saat berbincang dengan pengamat politik Rocky Gerung, dikutip dari akun Youtube RGTV Channel pada 21 September.
"Ini bicara antropologi. Kalau Anda bukan orang Jawa dan pemilihan langsung [terjadi] hari ini--saya enggak tahu 25 tahun lagi--sudah lupain, deh. Enggak usah kita memaksakan diri kita, sakit hati," lanjutnya.
Peneliti Indikator Politik Indonesia Bawono Kumoro mengamini bahwa presiden Indonesia hampir selalu berasal dari suku Jawa. Bahkan, Bawono menyebut hal ini sudah seperti sebuah takdir politik.
Dari tujuh presiden Indonesia, tercatat hanya BJ Habibie saja yang bukan berasal suku Jawa. Saat itu, Habibie diangkat untuk menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri setelah 32 tahun duduk di kursi presiden.
"Presiden Republik Indonesia hampir selalu dari etnis Jawa, memang telah menjadi semacam takdir politik bagi bangsa ini sejak dulu," kata Bawono.
Menurut dia, dominasi Jawa di tampuk tertinggi pemerintahan tak bisa dilepaskan dari fakta bahwa lebih dari 50 persen masyarakat Indonesia memang berada di Jawa.
Ia mengatakan selama puluhan tahun, sejak zaman Orde Lama, pembangunan di Indonesia dominan dilakukan di Pulau Jawa.
Hal lain adalah sejarah bahwa pada masa lampau kerajaan-kerajaan Jawa banyak yang menjadi pusat kekuasaan di nusantara. Ini memberikan pengaruh bagi kebudayaan politik di Jawa.
"Sejarah panjang kekuasaan raja-raja Jawa sebagai pusat dari episentrum kekuasaan nusantara pada masa lalu memang memberikan pengaruh besar bagi tercipta takdir politik tersebut," ujarnya.
Berdasarkan hal tersebut, Bawono meyakini jawa masih jadi faktor kuncu kunci dalam memenangkan pemilihan presiden. Pengaruh Jawa bisa datang dari jumlah suara maupun tokoh-tokoh yang bertarung di Pilpres 2024.
"Jawa memang kunci memenangkan kontestasi pemilihan presiden secara langsung," ucap dia.
Pengamat politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo menyebut bahwa Jawa, baik secara etnisitas dan geografis akan selalu menjadi kunci dalam peta kekuasaan di Indonesia.
Sama dengan Bawono, menurut Wasisto, hal ini tak bisa dilepaskan dari sejarah masa lalu kerajaan-kerajaan yang ada di Pulau Jawa.
"Hal itu seolah menjadi pakem mengingat Jawa sejak dulu menjadi tempat lahirnya peradaban lewat berbagai kerajaan yang itu menyebar pengaruhnya ke seluruh Indonesia," tutur Wasisto.
Tren Jawasentris Bisa Jadi Bergeser
Sementara itu, pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Mada Sukmajati lebih melihat dari perspektif kultural terkait dominasi presiden dari suku Jawa ini. Menurutnya, ada anggapan bahwa pemimpin dari Jawa memiliki sopan santun dan tata krama.
"Sebenarnya mungkin yang diidentikkan dengan Jawa pemimpin yang punya sopan santun, punya tata krama, punya keadaban yang itu dianggap mulia," ujarnya.
Namun, Mada berpendapat ada kemungkinan hal ini bisa bergeser karena perubahan karakter pemilih.
Terlebih, pada Pilpres 2024 mendatang ada sekitar 40 persennya yang merupakan pemilih muda atau milenial. Namun, mesti dilihat lagi, apakah para pemilih muda ini memiliki karakteristik yang lebih rasional atau tidak, utamanya dalam melihat identitas atau latar belakang calon, termasuk asal suku.
"Apakah mereka memaknai identitas itu dengan lebih rasional atau identitas itu mereka maknai dengan lebih primordial," kata Mada.
"Sehingga identitas tidak kemudian menjadi pertimbangan seperti taken for granted, tapi pemilih menilai rasional, melihat visi, misi, program," imbuhnya.
Lebih lanjut, Mada menyampaikan bahwa politik identitas sangat berpotensi akan berkembang pada Pilpres 2024 mendatang. Tak hanya soal suku, tetapi juga terkait agama hingga gender.
Politik identitas ini, kata Mada, nantinya juga akan terkait dengan strategi para pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dalam menggaet suara para pemilih.
"Sejauh mana paslon akan memanfaatkan identitas itu sebagai instrumen mobilisasi, apakah dia akan memanfaatkan identitas itu sebagai komoditas politik untuk dapat suara tanpa ada punya implikasi ke kebijakan. Atau dia juga akan mengadvokasi kebijakan dari identitas, ini nanti terlihat di visi, misi, program para paslon," tuturnya.
(tsa)