Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan menegaskan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pihak kepolisian di saat kasus yang menewaskan 135 orang itu sudah berjalan sebulan. Terutama, terkait penembak gas air mata yang ditemukan di CCTV.
"Polisi sudah melakukan rekonstruksi dan otopsi. Namun masih banyak PR (pekerjaan rumah). Salah satunya adalah memeriksa siapa yang menembakkan gas airmata ke arah tribun sebagaimana yang ditemukan dan bisa dicek di CCTV," kata Anggota TGIPF Rhenald Kasali saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (31/10).
Ia menilai polisi mestinya memiliki bekal yang lebih banyak untuk mengusut para pihak terkait. Salah satunya Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI), meskipun berada di bawah naungan FIFA.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena meski PSSI di bawah FIFA, kalau ada pidana, maka itu kewajiban polisi untuk memprosesnya. Bukankah korban kematian diantara berbagai pertandingan sepakbola sudah sering terjadi dan tak ada yang bertanggung jawab atau diproses?" paparnya.
"Menurut hemat kami masyarakat akan menilai baik kalau polisi berani menjalankan rekomendasi TGIPF dengan lebih serius," sambung Rhenald.
Ia menjabarkan bahwa rekomendasi TGIPF yang diserahkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) merupakan hasil menyeluruh. Artinya, semua pihak harus ikut terlibat dalam penanganan tragedi ini.
Termasuk, kata Rhenald, PSSI. Meskipun sudah mengumumkan akan melakukan Kongres Luar Biasa (KLB), ia menilai publik tak puas dengan putusan ini.
"Belum dianggap tulus oleh publik, yaitu bertanggungjawab secara moral dengan pengunduran diri semua Exco," ujarnya.
Bahkan, akademisi Universitas Indonesia ini menduga masih terdapat pengurus yang bersembunyi di balik badan Ketua Umum PSSI untuk memelihara status quo yang dimiliki. Ia memberikan contoh ada pengurus yang pura-pura tidak tahu bahwa mereka harus bertanggung jawab.
Lebih jauh, ia mendorong agar pihak-pihak Exco PSSI dengan PT LIB dan Liga untuk memperbaiki tata kelola yang ada. Pasalnya, saat ini praktik pengorganisasian yang ada masih sarat dengan konflik kepentingan. Salah satunya dengan melakukan pemeriksaan keuangan dan alokasi anggaran.
"Bagaimana PSSI membiarkan cross ownership, sehingga membiarkan pemegang saham bisa/dibiarkan memiliki saham pada kesebelasan yang saling bertarung? Bukankah ini rawan pengaturan?" tanya Rhenald.
Meski demikian, menurutnya, tugas rumah pemerintah saat ini sudah mulai direalisasikan dengan konkret, yaitu perbaikan stadion dan budaya sportifitas di masyarakat.
Namun, untuk menyelesaikan berbagai tugas yang menjadi rekomendasi TGIPF, Rhenald menilai semua pihak menghentikan intimidasi yang dilakukan pada para korban.
"Semua pihak hendaknya menghentikan intimidasi-intimidasi dan pengorganisasian buzzer untuk menyimpangkan informasi demi perbaikan sepakbola Indonesia," tegasnya.