Kasus pembunuhan berencana yang diduga didalangi Ferdy Sambo saat menjabat sebagai Kepala Divisi Profesional dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri, seolah membuka 'borok demi borok' di tubuh penegak hukum Indonesia itu. Momentum Sambo kini bahkan menjadi momentum buka-bukaan di tubuh Polri.
Bahkan, Menko Polhukam Mahfud MD yang juga lewat jabatannya itu menjadi Ketua Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyebut secara gamblang tudingan sedang ada 'perang bintang' di dalam tubuh Polri. Dugaan perang bintang itu terbuka lagi setelah beredarnya pengakuan seorang eks polisi yang berkelindan dengan bisnis mafia tambang ilegal di Kalimantan Timur, Ismail Bolong.
Namun bertolak belakang dengan pengakuan awal Ismail Bolong yang viral, Mahfud mengaku usai pihaknya memeriksa justru pernyataan itu dibantah yang bersangkutan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alih-alih Kabareskrim Komjen Agus Andrianto yang menjadi sasaran awal, Mahfud mengatakan Ismail Bolong memberikan pernyataan yang viral itu disampaikan di bawah tekanan Brigjen Hendra Kurniawan kala masih menjabat Karo Paminal Divpropam Polri.
Hendra sendiri membantah Bolong dan akan melaporkannya ke polisi."Itu fitnah dan kami sudah mempertimbangkan untuk membuat laporan polisi," kata kuasa hukum Hendra, Henry Yosodiningrat.
Melihat 'Perang Bintang' yang terjadi di tengah badai menghantam institusi Polri usai pembunuhan Brigadir J hingga Tragedi Kanjuruhan, penulis teringat kembali pernyataan Mahfud soal 'politik sandera'.
Salah satunya yang diucapkannya pada 2011 silam oleh Mahfud yang kala itu masih Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Di masa tersebut, Mahfud berbicara dalam konteks penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Saat itu dia menyinggung penegakan hukum dan proses penegakan keadilan macet karena saling sandera antarelite.
Mau mungkir, sepertinya tak bisa diingkari bahwa dugaan lewat 'politik sandera' para oknum Polri selama ini cuma tahu sama tahu dengan 'permainan' dan 'ladang' masing-masing. Tapi, mereka akan saling buka borok lawan ketika kedudukan atau posisinya tersudut.
"Isu perang bintang terus menyeruak. Dalam perang ini, para petinggi yang sudah berpangkat bintang saling buka kartu truf. Ini harus segera kita redam dengan mengukir akar masalahnya," kata Mahfud pekan lalu.
Dalam hal ini, penulis mendukung Mahfud dan koleganya di Kompolnas untuk benar-benar menganalisis guna membongkar 'politik sandera' di balik 'bisnis ilegal' penegak hukum yang membuat munculnya 'perang bintang' baru-baru ini.
Sebab yang menyinggung dugaan 'Perang Bintang' itu adalah Menko Polhukam yang juga Ketua Kompolnas, maka seharusnya tudingan itu dibuktikan pula baik secara etik maupun projustisiayang menyangkut perkara-perkara pelanggaran pidana.
Jika membicarakan mafia tindak pidana di dalam tubuh kepolisian seperti menyinggung parasit. Lima Kapolri sebelum Listyo, Timur Pradopo saat masih menjabat pemimpin Korps Bhayangkara pernah membeberkan delapan modus mafia di dalam tubuh Polri. Hal itu dibocorkan Timur dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR pada 24 Januari 2010.
Beberapa di antaranya: Pertama, dan yang paling biasa dilakukan, kata Timur, menjadi pelindung bisnis ilegal hingga melakukan pungutan perkara atau pungutan liar.
Para oknum tertentu itu berdalih memberikan perlindungan bisnis ilegal, dan melakukan ancaman atau jebakan yang ujung-ujungnya damai.
Modus kedua, para oknum polisi itu meminta masyarakat atau pelapor memberi uang dinas agar laporan berjalan dengan lancar. Cara ini, kata Timur, dilakukan dengan mempermudah laporan apabila ada pihak pelapor yang berpengaruh atau memiliki hubungan dengan petugas.
Contoh modus ketiga adalah menangkap calon tersangka, lalu melepas bahkan merilis SP3 setelah mendapatkan imbalan yang diminta.
Analisis Timur kala itu menyatakan modus mafia hukum di dalam tubuh Polri terjadi karena sejumlah hal dari mulai atasan berintegritas rendah, kemudahan mafia hukum bertemu penyidik maupun mendapat berkas, dan budaya meminta jatah dari atasan ke bawahan.
Sekitar lima tahun kemudian, ketika Polri dipimpin Badrodin Haiti, tiga Kapolri sebelum Listyo, mafia hukum di dalam kepolisian disinggung Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) pada puncak HUT ke-69 Bhayangkara di Mako Brimob Kelapa Dua Depok, 1 Juli 2015.
Mengutip laman Sekretatriat Kabinet, Jokowi kala itu memerintahkan praktik mafia hukum atau makelar kasus di dalam tubuh kepolisian: "Segera Diberantas!".
Sejak saat itu, sudah tujuh tahun berlalu, tujuh puncak HUT Bhayangkara terlewati, tapi mengingat apa yang terjadi baru-baru ini, penuntasan mafia hukum serta reformasi Polri seakan masih mandek atau mungkin berjalan pelan.
Tapi pertanyaannya kepada polisi mana publik harus percaya apabila di dalam institusi yang diberi kewenangan oleh undang-undang itu masih ditemukan parasit yang diduga berjemaah.
Di sinilah Kompolnas harus ambil tindakan sesuai dengan kewenangannya yang tercantum dalam Perpres 17/2011. Kompolnas dituntut untuk menjadi tangan rakyat pembayar pajak untuk mengawasi dan melaporkan tingkah laku Polri ke presiden.
Apalagi pada 14 Oktober lalu, Presiden Jokowi telah memanggil seluruh unsur pimpinan baik dari tingkat Mabes Polri sampai Polres se-Indonesia ke istana di Jakarta untuk 'diceramahi' secara lebih detail.
Parasit di dalam tubuh Polri, mengutip pernyataan Listyo haruslah di-'Potong kepala' dan ditindak hingga akar-akarnya. Agar tak ada lagi tudingan warga bernada prasangka yang marak tersebar pasca-Tragedi Kanjuruhan Malang seperti All Cops are Bastard', 'ACAB', atau '1312'.
Meskipun survei tingkat dunia Gallup Global Law and Order Index 2022 menempatkan Polri sebagai lembaga polisi terbaik nomor lima di dunia, di dalam negeri nyatanya kepercayaan publik padanya malah menurun.
Demikian bila merujuk pada survei salah satunya Litbang Kompas dan LSI Denny JA setidaknya tiga bulan terakhir.
Survei Litbang Kompas yang dirilis akhir Oktober lalu menunjukkan selama setahun ke belakang, tingkat penerimaan publik terhadap lembaga ini memiliki tren negatif. Sebaliknya, citra positif Polri berangsur-angsur merosot.
Pada survei Oktober 2021, citra positif Polri mencapai 77,5 persen. Lalu sedikit turun pada Januari 2022 menjadi 74,8 persen. Enam bulan setelahnya atau pada Juni 2022, citra Polri melorot cukup tajam hingga 9,1 persen dan berada di angka 65,7 persen. Penurunan paling drastis terjadi pada periode Juni-Oktober 2022. Dalam rentang waktu ini, citra positif institusi Bhayangkara anjlok 17,2 persen menjadi 48,5 persen.
Teranyar, Litbang Kompas mencatat citra negatif Polri menyentuh angka 43,1 persen.
Lihat Juga : |
LSI Denny JA yang melakukan riset kualitatif justru menemukan kepercayaan pada kinerja Kapolri Listyo lebih tinggi 6 persen dibandingkan institusinya sendiri.
Dalam riset yang hasilnya dirilis 19 Oktober 2022, LSI Denny JA mendapatkan hasil kepercayaan kepada polisi adalah 59,1 persen, sementara pada Listyo mencapai 65 persen.
Tapi, di luar temuan riset, publik mendesak mendapat perbaikan Polri dari sisi kualitas di lapangan.
Di satu sisi, selain mekanisme pengawasan, perlu pula pembenahan dan revitalisasi sistem perekrutan hingga pendidikan Polri yang lebih presisi. Tujuannya: publik bisa memberikan kepercayaan kembali, dan bisa jadi sambil menikmati sisa drama bongkar-bongkaran di tubuh polisi pada hari ini.
(asa)