Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS, Tioria Pretty Stephanie menyatakan pihaknya mengkritisi terdakwa dalam kasus HAM Paniai Papua yang disidangkan di PN Makassar hanya satu terdakwa saja.
Sebagai informasi, dalam kasus HAM yang menewaskan warga sipil di Paniai tersebut terdakwa tunggal adalah Mayor Inf (Purn) Isak Sattu selaku perwira penghubung saat peristiwa terjadi pada 2014 silam.
Menurut Pretty, tak bisa dipungkiri publik telah memperkirakan dalam kasus ini terdakwa hanya satu yang dijadikan sebagai kambing hitam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Upaya terus melanjutkan proses hukum hanya terhadap satu terdakwa ditengarai sebagai misi untuk merekonstruksi konsep pertanggungjawaban komando yang dibuat seolah memungkinkan bahwa pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM berat bisa dibebankan ke salah satu orang saja," tuturnya, Selasa (15/11).
Padahal tanpa pengenaan pasal rantai komando, kata Pretty, tiap orang yang melakukan bentuk-bentuk kejahatan kemanusiaan sesuai undang-undang Nomor 26 tahun 2000 juga patut dituntut oleh negara.
"Uraian yang dicantumkan dalam berkas tuntutan yang nafasnya tak berbeda jauh dengan berkas dakwaan disebabkan, karena komposisi saksi yang didominasi oleh unsur aparat baik dari TNI maupun Polri. Narasi-narasi berupa tindakan kekerasan dan perilaku tidak pantas dari korban dan masyarakat selalu didengungkan seolah untuk dijadikan pembenaran," jelasnya.
Meskipun jika benar adanya tindakan kekerasan dari warga, terang Pretty, sistem hukum tidak membenarkan adanya tindakan tidak terukur aparat yang berujung dengan kejahatan kemanusiaan.
"Dalam sistem hukum pidana yang berkeadilan, warga yang tertangkap tangan melakukan kekerasan tetap harus menempuh proses yang bebas dari penyiksaan dan ketidakadilan apalagi pembunuhan di luar proses hukum," kata dia.
Selain itu, Pretty mengatakan pada peristiwa penembakan warga Paniai 2014 silam harus dilihat pula sebagai imbas dari kebijakan negara melalui Polri dan TNI yang menetapkan Kabupaten Paniai sebagai salah satu daerah rawan dari 11 wilayah di Papua.
"Penetapan daerah rawan itulah yang ditindaklanjuti dengan pembentukan Operasi Aman Matoa V oleh Polda Papua yang diduga dilakukan dengan bantuan anggota Kodam TNI XVII/Cenderawasih, khususnya Timsus 753/AVT," kata Pretty.
Sebagaimana penyelidikan Komnas HAM telah menyampaikan peristiwa kekerasan di Paniai pada 7-8 Desember 2014, kata Pretty tidak akan terjadi jika tidak ada Timsus 753/AVT beserta kelengkapan pos dan infrastrukturnya yang membantu Operasi Aman Matoa V.
Salah satu indikatornya sebagaimana disampaikan oleh beberapa saksi di pengadilan HAM, bahwa akibat Paniai ditetapkan sebagai daerah rawan maka di gudang senjata hanya ada peluru tajam, bukan peluru hampa atau karet.
"Dengan demikian, senjata yang dipegang aparat TNI di lokasi memang dimaksudkan untuk perang atau pertahanan terhadap ancaman dari luar negara, bukan untuk memproses KKB (kelompok kriminal adalah ranah keamanan, bukan pertahanan) apalagi menghadapi masyarakat sipil tanpa senjata," kata Pretty.