LBH Jakarta Kritik RKUHP Disahkan: Pemerintah Sedang Menipu Rakyat
Pengacara publik dari LBH Jakarta Charlie Meidino Albajili menyatakan pemerintah dan DPR tak mempunyai iktikad baik dan menipu rakyat dengan mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi UU di tengah gelombang penolakan.
"Dulu ini ditunda pembahasannya karena dibilang ada penolakan dari masyarakat, tapi sekarang penolakan tetap jalan, dan pasal yang dulu dikritisi di Reformasi Dikorupsi (2019) tetap ada. Jadi ini pemerintah sebenarnya sedang menipu rakyatnya," kata Charlie saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (6/12).
Menurut Charlie, RKUHP yang kini telah disahkan menjadi UU cacat prosedur karena partisipasi masyarakat tidak diakomodasi dengan baik dan penuh. Akibatnya, substansi yang termuat dalam peraturan pidana baru itu sangat berbahaya bagi demokrasi dan masa depan bangsa.
"Pemerintah lagi-lagi meng-goal-kan UU secara cacat prosedural karena aspirasi masyarakat beberapa prosedurnya tidak melaksanakan partisipasi masyarakat yang tulus sebagaimana dimandatkan putusan MK [Mahkamah Konstitusi] di Cipta Kerja," imbuhnya.
Dalam putusan soal UU Cipta Kerja beberapa waktu lalu, MK menyoroti metode omnibus law tidak diatur dalam mekanisme pembentukan UU di Tanah Air. MK juga menyoroti belum optimalnya partisipasi masyarakat yang bermakna dalam pembentukan UU Cipta Kerja.
Sementara Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid menilai pengesahan RKUHP menjadi UU merupakan kemunduran bagi perlindungan kebebasan sipil di Indonesia.
Menurut Usman, sejumlah pasal yang terkandung dalam peraturan tersebut masih berwatak anti hak asasi manusia dan demokrasi.
"Pengesahan RKUHP jelas merupakan kemunduran dari perlindungan kebebasan sipil di Indonesia, terutama pada hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat, serta kebebasan pers," ujar Usman.
Sejumlah pasal yang dimaksud yaitu penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden; penghinaan terhadap pemerintah yang sah; penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara; berita bohong; pencemaran nama baik; dan penyelenggaraan aksi tanpa pemberitahuan lebih dahulu.
Dia pun menyoroti dampak negatif pengesahan RKUHP terhadap hak-hak Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer dan Interseks (LGBQI+).
"Beberapa di antaranya adalah akan membuat mereka semakin menjadi warga negara kelas dua, termasuk akan membuat mereka semakin invisible. Hak-hak mereka tersebut adalah hak atas identitas dan ekspresi gender mereka, orientasi seksual, dan hak untuk tidak didiskriminasi atas dasar itu," terang Usman.
"Hak-hak lain dari LGBTI yang akan terdampak adalah hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya seperti hak atas pekerjaan," sambungnya.
Sebelumnya, DPR mengesahkan RKUHP menjadi UU dalam Rapat Paripurna hari ini. Sejumlah pihak menilai RKUHP yang kini telah menjadi UU tersebut masih kacau dan memuat pasal-pasal bermasalah. Di antaranya pasal penghinaan terhadap presiden, pasal makar, penghinaan lembaga negara, pidana zina dan kumpul kebo, hingga berita bohong.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly mempersilakan masyarakat untuk menggugat produk hukum ini ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika merasa sejumlah pasal di RKUHP bertentangan dengan konstitusional.
"Jadi kita kan harus melalui mekanisme konstitusi. Jadi kan kita semakin beradab, semakin baik kepatuhan terhadap konstitusi, terhadap hukum. Maka ketika disahkan mekanisme yang paling pas adalah Judicial Review," ujar Yasonna.
Sementara Wakil Menteri Hukum dan Ham (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej meminta para pihak yang menganggap produk hukum ini bermasalah dan terburu-buru untuk datang berdebat dengan pihaknya.
"Anda coba jawab sendiri ya, apa 59 tahun ini terburu-buru? Kalau dikatakan banyak penolakan berapa banyak? Substansinya apa? Datang dan debat dengan kami, kami sudah siap dan kami yakin betul kalau ini diuji [akan] ditolak," kata Eddy.
(fra/ryn/fra)