Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti termasuk kalangan yang pesimis hakim MK akan menerima gugatan dan mengambil putusan yang objektif. Menurut Bivitri, setelah kejadian Aswanto, para hakim MK dibayang-bayangi pemecatan jika putusan tak sesuai dengan kehendak pemerintah dan DPR.
Bivitri berkata kekhawatiran itu muncul sebab ada preseden Aswanto yang diberhentikan dari kursi hakim MK karena dianggap tak mengawal kepentingan DPR.
"Soal RKUHP, Wamenkumham bilang kalau enggak setuju bawa aja ke MK. Nah MK-nya udah kayak gini gimana dong? Mereka akan mikir seribu kali kalau nanti mereka menyebut pasal pasal di RKUHP itu inkonstitusional karena takut 'Diaswantokan'," kata Bivitri di Jakarta Selatan, Minggu (4/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bivitri menyebut pengekangan terhadap MK itu akan diperparah jika dalam revisi UU MK memuat pasal-pasal yang melemahkan, salah satunya terkait syarat pencopotan hakim.
Meskipun, kata Bivitri, MK baru-baru ini mengeluarkan putusan nomor 103/PUU-XX/2022 yang mengatakan pemberhentian hakim konstitusi harus dilakukan sesuai aturan Pasal 23 UU MK. Namun, DPR tetap ingin merevisi UU tersebut.
"Mau ada revisi UU MK, yang akan bisa mengevaluasi hakim mana pun yang dianggap membangkang. Jadi sekarang revisi UU MK mau dibahas yang mengusulkan DPR juga," ujarnya.
Namun, Menkumham Yasonna membantah dugaan para hakim MK takut dicopot seperti Aswanto. Yasonna yakin para hakim konstitusi punya integritas. Oleh karena itu, ia mempersilakan masyarakat yang tak puas dengan pengesahan KUHP untuk menggugat saja ke MK.
"Itu kan suuzannya Bivitri. Masak sekelas mereka-mereka (hakim konstitusi), kita ragukan lagi," kata politikus PDIP itu di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (6/12).
Yasonna mengatakan RKUHP telah dibahas dengan melibatkan berbagai kelompok. Menurutnya, pemerintah sudah mengajak diskusi kelompok masyarakat sipil saat merancang RKUHP.
Dia menyebut pemerintah juga telah membuat diskusi di berbagai daerah. Bahkan, Presiden Jokowi pernah meminta waktu sosialisasi ditambah sebelum pengesahan.
"Banyak yang mendesak kami, kalau kita tunggu lagi, batal lagi tidak akan pernah selesai," ujarnya.
Sementara itu, sampai saat ini CNNIndonesia.com belum mendapatkan pernyataan resmi dari Mahkamah Konstitusi (MK) perihal perndapat pesimistis bila KUHP digugat ke MK.
Diketahui, Revisi KUHP usulan pemerintah sudah disahkan menjadi undang-undang lewat paripurna DPR. Revisi KUHP itu menuai kritik dari banyak kalangan termasuk praktisi hukum, akademisi, dan insan pers.
Koalisi masyarakat sipil berpendapat Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) masih bisa mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk KUHP yang baru saja disahkan.
Pengacara publik LBH Jakarta Citra Referandum menyebut jika Jokowi mestinya melakukan hal tersebut jika bersikap bijaksana. Sebab, masyarakat sipil menolak keras pasal-pasal bermasalah dalam KUHP.
Citra menilai masyarakat juga sudah pesimistis untuk mengajukan gugatan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Citra melihat independensi MK saat ini mengkhawatirkan.
"Kalau memang presiden kita bijak ya, mungkin secara formal bisa dilakukan keluarkan Perppu. Kalau mereka mau betul-betul dengarkan kita," kata Citra dalam keterangannya, dikutip Rabu (7/12).
Citra mengamini pemerintah juga terlibat dalam revisi KUHP yang akhirnya disahkan ini. Namun, Citra berpendapat presiden sebagai kepala negara seharusnya lebih bisa memikirkan jaminan hak asasi manusia (HAM) dan mengeluarkan Perppu.
Pasalnya, kata Citra, banyak pasal-pasal dalam KUHP baru yang mengancam kebebasan berekspresi rakyat.
"Seharusnya presiden sebagai pengurus negara betul-betul memikirkan dan mempertanggungjawabkan untuk memenuhi HAM," ucapnya.
(dis/kid)