Menurut Trubus, mitigasi bencana juga harus didukung data akurat. Dengan akurasi data yang tinggi, maka proses pra bencana seperti penyiapan dan pemetaan evakuasi warga dapat dilakukan dengan baik sehingga bisa meminimalisasi korban bencana.
"Akurasi data itu nomor satu menurut saya. Nah, saya lihat publik itu disajikan data akurasinya lemah dan kadang tidak transparan," ucapnya.
Ia mencontohkan soal data prakiraan cuaca dan peringatan dini dari BMKG. Ia menyebut beberapa kali warga mengeluhkan prediksi BMKG yang meleset.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski ia mengamini prediksi tak bisa 100 persen akurat, tetapi Indonesia perlu belajar banyak dari negara lain soal akurasi data.
Trubus meminta pemerintah memberikan sokongan kepada BMKG soal infrastruktur, seperti teknologi peramalan cuaca hingga peningkatan kualitas dan keahlian khusus sumber daya manusia (SDM).
"Karena kalau tidak, lama-lama public trust akan menurun. Misalnya, kalau di Jepang itu akurat betul prakiraan cuaca, mereka juga akurat kalau ada gempa dan tsunami misalnya early warning bekerja. Nah, kita menurut saya lebih banyak ke politisasinya," kata dia.
Trubus juga merespons perbedaan prediksi antara BMKG dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) soal potensi cuaca ekstrem dan badai yang terjadi di wilayah Jabodetabek pada Rabu (28/12) ini.
Ia mengatakan kementerian/lembaga di Indonesia seharusnya saling berkoordinasi dan satu suara, sehingga tidak menimbulkan kebingungan publik. Ia khawatir hal ini bisa membuat upaya edukasi warga soal mitigasi bencana malah gagal.
"Dikhawatirkan publik malah 'emang gue pikirin' (EGP) dengan prediksi dan juga peringatan bencana nantinya, ini kan susah malah," ujarnya.
Pakar Insfrastruktur dan Tata Ruang Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Dwi Sawung menilai rata-rata proses pembangunan di Indonesia tidak memperhatikan kerentanan terhadap bencana. Padahal, pembangunan di daerah rawan bisa memperparah bencana.
Ia berujar masih banyak masyarakat yang bermukim di daerah rawan banjir. Menurutnya, hal itu tak jadi persoalan apabila mereka yang bertempat tinggal di sana sadar akan bahaya yang mengintai.
Mereka harus siap untuk berpindah ke tempat yang lebih aman apabila muncul tanda-tanda akan bencana.
"Soal tata kotanya atau tata wilayahnya yang buruk, daerah yang kita sebut sebagai floodplain daerah banjir dihuni oleh permukiman. Nah, itu kan harusnya tidak dihuni. Atau pun kalau dihuni bersiap terhadap bencana dan tahu bahwa daerahnya memang rawan, tidak denial," ujar Dwi.
Ia mengatakan pemerintah mesti menyiapkan ruang aman dan memberikan pemahaman mengenai lokasi mana saja yang merupakan zona bahaya, sehingga tidak layak menjadi tempat tinggal.
Dwi berpendapat edukasi soal mitigasi bencana mesti dilakukan oleh pemerintah. Dengan demikian, masyarakat bisa siaga apabila sewaktu-waktu terjadi bencana. Ia juga berharap masyarakat mematuhi imbauan agar tak bepergian ke tempat rawan menyesuaikan kondisi cuaca pada saat ini.
(lna/khr/tsa)