Walhi Ungkap Perkebunan dan Tambang Penyebab Bencana Ekologis
Sebanyak empat sektor usaha mulai dari perkebunan, pertambangan, infrastruktur, sampai pariwisata dinilai menjadi kontributor dalam bencana ekologis di Indonesia.
Direktur Eksekutif Nasional WALHI Zenzi Suhadi menjelaskan bencana ekologis yakni bencana yang diintervensi oleh kontribusi manusia seperti banjir serta kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).
"Sektor kehutanan dan perkebunan, pertambangan. Dua sektor ini menjadi aktor utama terjadinya bencana ekologis di Pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi," kata Zenzi dalam peluncuran Tinjauan Lingkungan Hidup, Selasa (31/1).
Perkebunan skala besar salah satunya adalah sawit.
Lebih lanjut, Zenzi menyebut proyek infrastruktur, lebih banyak menimbulkan bencana ekologis di Pulau Jawa. Sementara itu, proyek pariwisata banyak menyebabkan bencana ekologis di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan NTB.
Zenzi mengungkapkan kejadian bencana pada 2022 mencapai 3.531 dengan 897 korban. Menurutnya, kejadian bencana itu lebih banyak disebabkan oleh faktor manusia.
"Padahal bencanan itu bisa saja tidak terjadi," ujarnya.
Zenzi menyadari Indonesia meletakkan tumpuan ekonomi pada sumber daya alam (SDA). Harusnya, kata dia, Indonesia bisa lebih memperhatikan aspek lingkungan. Dia pun menyarankan agar pemerintah membentuk komisi penegakkan hukum (gakkum) khusus lingkungan dan SDA.
"Yang harus dilahirkan itu badan atau komisi khusus Gakkum di sektor SDA. Kalau saat ini seakan bencananya direncanakan dalam sadar dan dipaksa rakyat untuk menerimanya sebagai takdir," ucap dia.
Lihat Juga : |
Komoditas Andalan
Pemerintah sendiri menetapkan sawit sebagai bahan komoditas andalan. Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengutip riset, mengatakan Indonesia diprediksi bisa memproduksi sekitar 100 juta ton minyak sawit pada 2045.
Optimisme itu disampaikan Luhut dalam Indonesia Zero Pathway: Opportunity & Challenges yang digelar di Paviliun Indonesia, World Economic Forum Annual Meeting 2023 di Davos, Swiss. Nantinya, kata dia, minyak sawit bakal digunakan untuk pangan dan BBM.
"30 persennya akan diarahkan untuk pangan dan sisa 70 persennya kita bisa lakukan riset dan bisa bikin etanol. Jadi kita tidak perlu mengimpor minyak fosil pada saat itu," kata Luhut, Selasa (17/1) waktu setempat.
Sementara untuk urusan tambang, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginginkan pemimpin berikutnya dapat melanjutkan kebijakan larangan ekspor mineral mentah yang sudah ia jalankan saat ini.
Hal itu, kata Jokowi, supaya ekspor sumber daya alam ke depan dilakukan dalam bentuk jadi sehingga bisa menimbulkan nilai tambah bagi ekonomi dalam negeri.
Jokowi bercerita kebijakan hilirisasiyang dijalankan di masa pemerintahannya terbukti dalam menciptakan nilai tambah bagi ekonomi dalam negeri. Untuk nikel saja misalnya.
Sebelum pemerintahannya melarang ekspor nikel mulai 1 Januari 2020 lalu, nilai perdagangan yang diraih Indonesia dari ekspor produk tersebut hanya US$1,1 miliar atau Rp17 triliun.
(yla/ain)