Yuris mengatakan indikasi korupsi pada level pembuatan kebijakan sama sekali tak tersentuh. Selain itu, konflik kepentingan pejabat publik merebak, semakin sering regulasi dibuat hanya demi kepentingan sebagian pihak, hingga terjadinya perselingkuhan antara pejabat publik dengan segelintir pengusaha.
Ia menilai perilaku tersebut tidak pernah mendapat perhatian dalam mencegah korupsi. Bahkan, cenderung dibiarkan.
"Model korupsi kebijakan seperti itu biasanya memang tidak mudah teridentifikasi. Selain karena biasanya dibalut dengan stempel produk hukum, dampaknya memang tidak langsung terlihat. Namun, dampak itu sebetulnya dirasakan oleh masyarakat," sebut Yuris.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dampak yang dimaksud adalah kelangkaan barang pokok, tingginya harga produksi usaha, hingga dicabutnya berbagai subsidi yang vital bagi publik.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman menyayangkan penurunan skor IPK yang menjadi peninggalan buruk dari rezim Jokowi.
"Penurunan ini sangat disayangkan ya, ini menunjukkan gagalnya strategi pemberantasan korupsi di Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo...Menurut saya, ini legacy (peninggalan) yang sangat buruk dari pemerintahan Presiden Joko Widodo," jelas Zaenur saat dihubungi CNNIndonesia.com.
Zaenur mengatakan penyebab penurunan IPK Indonesia di tahun 2022 karena risiko korupsi politik yang meningkat drastis dan memperburuk situasi korupsi di Indonesia. Namun, rendahnya IPK Indonesia secara umum itu karena rendahnya indeks World Justice Project - Rule of Law dan rendahnya indeks Varieties of Democracy Project.
Ia membeberkan sejumlah hal yang dapat dilakukan pemerintahan Jokowi untuk memperbaiki IPK ini, yakni mereformasi institusi penegak hukum dengan perbaikan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), mereformasi aparat penegak hukum, dan mereformasi institusi pengawasan independen.
Hal lain Zaenur nilai perlu dilakukan untuk mempercepat pemberantasan korupsi adalah mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) perampasan aset hasil kejahatan dan RUU pembatasan transaksi tunai.
Lihat Juga : |
"Kalau aparat penegak hukumnya sudah bersih, ya andaikan sebagai sapu, maka bisa menyapu korupsi dari Republik ini. Selama institusi penegak hukum, sistem hukumnya belum bersih, maka penegakan hukum itu tidak akan pernah bisa diharapkan adil dan korupsi akan terus terjadi," terang Zaenur.
Zaenur juga menyinggung pelbagai upaya yang dapat dilakukan guna menekan risiko korupsi politik, yakni aparat penegak hukum membuat program pengawasan, pencegahan, dan penindakan bagi korupsi politik.
Lalu, harus ada demokratisasi di internal partai politik dan harus ada partisipasi masyarakat untuk menolak segala macam bentuk korupsi politik, salah satu contohnya praktik beli suara.
Nur mengatakan pemerintahan Jokowi mesti serius melakukan pemberantasan korupsi di sisa masa pemerintahannya.
Ia menyebut pemerintah harus berani untuk menyatakan perang dengan korupsi dan tidak tebang pilih dalam pemberantasan korupsi.
"Catatan saya akan sangat sulit mengatasi bobroknya korupsi di sisa masa pemerintahannya kalau tidak ada langkah radikal pembenahan. Membenahi faktor-faktor utama penyebab bobroknya korupsi ini, saya rasa ini pekerjaan yang tidak bisa simsalabim selesai," jelas Nur.
Di sisi lain, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menilai Jokowi tidak terlalu peduli dengan IPK yang menggambarkan betapa bobroknya kebijakan dan tata laksana penyelenggaraan pemerintahannya.
"Sulit ya, hampir bisa dipastikan waktu yang tersisa bagi pemerintahan Jokowi sangat tipis dan sulit berharap akan terjadi perbaikan sungguh-sungguh," ujar Feri.
Komitmen pemberantasan korupsi sebenarnya merupakan salah satu janji politik Jokowi yang dia sampaikan dalam kampanye Pilpres 2019. Dia janji membenahi persoalan korupsi jika kembali terpilih sebagai presiden pada periode kedua.
Namun yang terjadi kemudian adalah pemerintah dan parlemen bersepakat mengesahkan revisi UU KPK di tengah gelombang protes masyarakat dan berbagai elemen sipil.
Sejak itu KPK dinilai mengalami penurunan kinerja, terutama di bidang penindakan.
KPK selaku penggawa utama pemberantasan korupsi Indonesia bahkan mengaku 'kaget setengah mati' dengan anjloknya IPK Indonesia dalam hal penanganan korupsi di dalam negeri.
KPK mengakui perlunya terobosan untuk mendongkrak IPK Indonesia, terlebih sejak 2014 skornya tidak pernah melewati angka 40. Terobosan dimaksud memerlukan peran sejumlah pihak seperti pemerintah, organisasi masyarakat, bahkan partai politik.
"Jadi, yang pertama saya ditelepon kemarin kaget setengah mati saya, kok cuma 34," ujar Pahala di Pullman Hotel, Jakarta, Selasa (31/1).
(pop/gil)