Mahkamah Konstitusi (MK) mempertanyakan relevansi prinsip meaningful participation atau hak untuk didengar pendapatnya dalam sidang uji formil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) pada hari ini, Selasa (14/1).
Pertanyaan itu disampaikan hakim konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh menanggapi isi permohonan 13 serikat pekerja yang mempermasalahkan minimnya meaningful participation dalam pembuatan Perppu Ciptaker. Permohonan gugatan ini tercatat dengan nomor 14/PUU-XXI/2023.
"Kalau dalam permohonan dikaitkan dengan meaningful participation apakah itu tepat atau tidak?" kata Daniel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Daniel menjelaskan pembentukan UU dengan Perppu berbeda. Mengacu pada UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tidak dijelaskan secara detail mengenai meaningful dalam pembentukan Perppu.
Daniel berkata meaningful participation itu pada umumnya dimuat dalam naskah akademik dan pembuatan UU. Sementara itu, Perppu tidak membutuhkan naskah akademik.
Selain itu, kata Daniel, dalam UU No 12/2011 juga memuat nomenklatur yang berbeda antara pembuatan UU dan Perppu. Dalam pembuatan UU, DPR mempunyai kekuasaan untuk membentuk dan menetapkan. Namun, dalam pembuatan Perppu DPR hanya 'menetapkan'.
"Nomenklatur yang dipakai di Pasal 22a itu 'menetapkan'," ujarnya.
Daniel pun kembali mengingatkan agar para pemohon memikirkan ulang terkait permasalahan meaningful participation dalam gugatannya.
"Coba dicermati, tepat atau tidak menggunakan istilah itu?" katanya.
Kuasa hukum para pemohon Muhamad Raziv Barokah menyatakan Perppu Ciptaker dinilai tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Pasal 22A UUD 1945.
Dalam pokok permohonan, para pemohon menyatakan Perppu Ciptaker yang ditetapkan dan diundangkan pada 30 Desember 2022 oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Perppu tersebut untuk menghidupkan kembali Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang sebelumnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Serikat pekerja yang mengajukan permohonan perkara ini yakni Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (Pemohon I), Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehtan KSPSI (Pemohon II), Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan KSPSI (Pemohon III).
Lalu, Federasi Serikat Pekerja Logam, Elektronik, dan Mesin SPSI (Pemohon IV), Federasi Serikat Pekerja Pariwisata dan Ekonomi KSPSI (Pemohon V), Federasi Serikat Pekerja Listrik Tanah Air (Pelita) Mandiri Kalimantan Barat (Pemohon VI), Federasi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan (Pemohon VII).
Selanjutnya ada Federasi Serikat Pekerja Rakyat Indonesia (Pemohon VIII), Gabungan Serikat Buruh Indonesia (Pemohon IX), Konfederasi Buruh Merdeka Indonesia (Pemohon X), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Pemohon XI), Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (Pemohon XII), Serikat Buruh Sejahtera Independen '92 (Pemohon XIII).
(yla/fra)