Dewi Safitri
Dewi Safitri
Lulus studi Science Tech in Society dari University College London dan sekarang bekerja untuk CNN Indonesia. Penggemar siaran radio dan teka-teka silang.
KOLOM

Kodok Kermit, Gelar Kehormatan Kampus, dan Saving Academic Dignity

Dewi Safitri | CNN Indonesia
Selasa, 21 Feb 2023 11:40 WIB
Di AS, tokoh film boneka kodok, Kermit menerima gelar doktor kehormatan seperti tokoh-tokoh lain. Pengaruh, kekuatan politik dan uang jadi latar belakang.
Foto ilustarasi gelar kehormatan kampus. (iStockphoto/malerapaso)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia --

Seekor kodok asal Amerika, Kermit the Frog, mendapat gelar doktor kehormatan bidang "Sastra Amfibi" dari Southampton College (sekarang salah satu kampus Stonybrook University) di Long Island AS, tahun 1996. Boleh ketawa boleh tidak. Tapi Kermit, tokoh film boneka kegemaran anak-anak tahun '80-an, dianggap punya jasa besar menumbuhkan kepedulian publik pada isu lingkungan dan pendidikan.

Kermit hanya satu dari puluhan selebriti Amerika, meski pun satu-satunya yang merupakan satwa kartun, yang diganjar dengan gelar doktor kehormatan dari berbagai universitas termasuk yang masuk jajaran bergengsi dan ternama (ivy league).

Di antara daftar penerima ada legenda jazz Aretha Franklin, pembawa acara Oprah Winfrey, bintang film Ben Affleck sampai yang terbaru, penyanyi pop Taylor Swift yang mendapat gelar doktor kehormatan tahun lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tradisi gelar akademik tanpa susah-payah sekolah ini sebenarnya dimulai dari Inggris. Tahun 1407 Universitas Oxford memberikan gelar sarjana kehormatan pada Lionel Woodfille yang kemudian menjadi Uskup di Salisbury. Dalam kasus Amerika maupun Inggris, latar belakang pemberian gelar akademik kehormatan ini dianggap kurang lebih sama: pengaruh, kekuatan politik dan uang.

Saat Robert Mugabe menjadi penguasa Zimbabwe selama 37 tahun, puluhan gelar akademik kehormatan dikoleksi. Mugabe yang dikenal sebagai diktator kejam harus merelakan gelar doktornya dicabut Universitas Edinburgh karena aksi protes mahasiswa tahun 2007.

Protes serupa ditujukan pada Universitas Curtin Australia yang pada tahun 2012 memberikan gelar doktor honoris causa pada Rosmah Mansur, istri mantan PM Malaysia yang kini jadi narapidana korupsi 12 tahun, Najib Razak. Rosmah yang dikenal karena koleksi tas mewah dan perhiasan premiumnya kini juga sedang menjalani vonis 10 tahun penjara karena kasus suap.

Isu-isu non-akademik tak sedap seperti ini kemudian membuat sejumlah universitas memutuskan menghentikan praktik gelar akademik kehormatan. Di antaranya universitas terkemuka seperti MIT dan Stanford di US.

Alasannya karena sinyalemen bahwa gelar semacam ini sebenarnya merupakan pertukaran saja, kalau bukan pengaruh politik, ya uang. Untuk sebagian besar institusi lain, praktik ini tetap berlanjut.

Praktik di Indonesia

Di Indonesia, dalam 10 tahun terakhir penerima gelar kehormatan ini justru naik pesat jumlahnya. Sebagian besar penerimanya adalah politisi dan pejabat. Tren pemberian gelar kerap meningkat menjelang tahun politik saat pileg, pilkada atau pilpres digelar.

Praktik ini kemungkinan besar akan jalan terus tanpa persoalan serius. Sebanyak 353 pengajar dari 14 fakultas di UGM mengajukan keberatan terhadap rencana Senat memberikan gelar guru besar kehormatan kepada Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo.

Pemberian gelar tersebut pada individu yang bukan seorang akademik dianggap tidak patut, "we are selling our dignity", demikian isi surat para dosen itu pedas.

Pak Perry bukan politisi dan tidak punya rekam jejak korupsi. Tetap saja pemberian gelar guru besar pada individu non-akademik dianggap dosen pemrotes tidak memberi kontribusi pada "peningkatan kualitas dan reputasi UGM.... dan berpotensi menimbulkan praktik transaksional.." dalam pemberian gelar akademik.Rektorat UGM membantah rencana pemberian gelar guru besar kehormatan, tetapi belum jelas apakah ini berarti rencana akan batal.

Ini bukan pertama kalinya penolakan disuarakan dari dalam kampus. Dua tahun lalu, rencana UNJ memberikan gelar doktor honoris causa kepada Wakil Presiden Ma'ruf Amin dan Menteri BUMN Erick Thohir terhenti setelah penolakan aliansi dosen.

Alasannya sederhana: UNJ sendiri sudah punya aturan gelar kehormatan tidak diberikan pada tokoh yang sedang menjabat dalam pemerintahan. Belakangan Senat diberitakan tengah menyusun pengubahan aturan meski tak jelas apakah tujuannya untuk meloloskan praktik pemberian gelar pada pejabat.

Sebaliknya, di Universitas Negeri Semarang pemberian gelar doktor honoris causa kepada Mantan Ketua PSSI Nurdin Halid tahun 2021 jalan terus meski diprotes mahasiswa.

Persyaratan Unnes sendiri yang mengharuskan penerima gelar "memiliki kepribadian dan citra publik yang baik, serta memiliki moral, etika, dan kepribadian yang baik" menurut pemrotes tidak bisa dipenuhi Nurdin. Pasalnya serangkaian kasus korupsi yang dituduhkan padanya dan kemudian sempat membuatnya jadi narapidana.

Penting dicatat bahwa pemberian gelar kehormatan adalah praktik legal dan standar di Indonesia. Dari ribuan penerima gelar di seluruh dunia, kasus-kasus bermasalah jumlahnya jauh lebih sedikit ketimbang mereka yang tak bermasalah.

Kementerian Pendidikan Nasional dan Ristek (sekarangKemendikbud) telah mengeluarkan aturan baku syarat pemberian gelar kehormatan ini. Sempat berlaku aturan Permendikbud 10/2013 yang antara lain mensyaratkan gelar kehormatan hanya boleh diberikan pada calon yang setidaknya telah memiliki gelar sarjana. Aturan ini diperbarui tahun 2016 dan pasal tentang syarat kesarjanaan ini dihilangkan.

Pada intinya aturan kementerian menyatakan dengan prinsip otonomi kampus, gelar kehormatan adalah urusan kampus masing-masing. Kementerian bisa menegur dan menganulir jika ada pelanggaran terhadap Permendikbudristek 2016, kata Dirjen Ristek M Nizam.

Mungkin ini alasan meluasnya Aliansi Dosen di UNJ atau dosen-dosen UGM yang memprotes praktik pemberian gelar kehormatan di universitas mereka masing-masing. Penolakan selling our dignity alias anggapan menggadai marwah institusi harus disuarakan insan akademik sendiri. Lha kalau bukan mereka, siapa lagi?

(sur/sur)


[Gambas:Video CNN]
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER