ANALISIS

Sesat Upaya Penundaan Pemilu Lewat Ketok Palu Hakim Oyong Cs

CNN Indonesia
Senin, 06 Mar 2023 09:29 WIB
Pengamat menilai sedari awal PN Jakpus tidak berwenang untuk mengadili gugatan Partai PRIMA terhadap KPU.
Ilustrasi pemilu. Waca penundaan pemilu muncul ke permukaan seiring putusan PN Jakpus yang kontroversial saat memerintahkan KPU untuk menunda pemilu. CNN Indonesia/Bisma Septalismaa
Jakarta, CNN Indonesia --

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dengan Ketua Majelis Hakim T Oyong mengeluarkan putusan untuk memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda tahapan Pemilu 2024.

Putusan tersebut dikeluarkan oleh PN Jakpus usai mengabulkan seluruh gugatan perdata Partai PRIMA. Dalam gugatannya, Partai PRIMA merasa dirugikan oleh KPU dalam proses verifikasi administrasi partai politik.

Dalam proses verifikasi KPU tersebut, Partai PRIMA dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dan tidak bisa mengikuti verifikasi faktual. Sementara itu dalam putusannya, PN Jakpus menilai KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum terhadap Partai Prima.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Mengadili, menghukum tergugat [KPU] untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini dibacakan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang dua tahun empat bulan tujuh hari," demikian amar putusan tersebut.

Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera Bivitri Susanti menegaskan putusan tersebut keliru dan juga bentuk pelanggaran terhadap konstitusi.

Bivitri menjelaskan ketentuan pelaksanaan Pemilu telah diatur dalam Pasal 22E ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam aturan tersebut, ia mengingatkan bahwa konstitusi telah mengamanatkan agar Pemilu wajib dilaksanakan selama lima tahun sekali.

"Karena itu juga dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 tahun 2017 tidak diberikan ruang sama sekali untuk menunda Pemilu secara nasional," jelasnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (6/3).

Ia menuturkan dalam UU Pemilu yang ada juga hanya dikenal istilah Pemilu susulan, dengan catatan tidak dilakukan secara nasional melainkan pada wilayah tertentu saja. Meski begitu, Bivitri mengatakan pelaksanaan Pemilu susulan juga tidak serta merta dapat dilakukan wilayah tertentu begitu saja.

Menurutnya harus ada kejadian luar biasa yang menjadi alasan penundaan pelaksanaan Pemilu semisal kondisi seperti bencana alam ataupun keadaan darurat lainnya. Kendati demikian kebijakan Pemilu susulan juga tidak dapat diambil melalui putusan pengadilan melainkan tetap harus melalui peraturan KPU.

"Misalnya ada gempa bumi seperti di Cianjur kemarin gitu, menunda pemilu selama beberapa bulan itu boleh. Tapi tidak secara nasional," kata dia.

"Artinya karena dia adalah norma konstitusional yang sifatnya kesepakatan politik, yang harus dilakukan juga adalah kesepakatan politik," sambungnya.

Bivitri menilai sedari awal PN Jakpus juga tidak berwenang untuk mengadili gugatan Partai PRIMA terhadap KPU. Sebab menurutnya gugatan PRIMA tersebut bukanlah ranah perdata melainkan ranah administrasi negara.

"Yang aneh seharusnya kalau ada unsur melawan hukum dari penguasa dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), tapi kok ini diterima di Pengadilan Negeri," ujarnya.

Lebih lanjut, ia juga mengaku heran dengan sikap PN Jakpus yang mengabulkan gugatan immaterial dari Partai PRIMA yang meminta agar pelaksanaan Pemilu 2024 turut ditunda. Padahal apabila memang gugatan tersebut masuk ke dalam ranah perdata seharusnya dampak putusan pengadilan hanya boleh dirasakan oleh penggugat dan tergugat saja.

"Dalam perkara perdata dampak hukumnya hanya bisa dirasakan oleh kedua belah pihak, bukan untuk umum. Jadi inilah alasan mengapa putusan ini keliru," tegasnya.

Janggal putusan

Senada, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari juga mengaku janggal dengan putusan yang diberikan oleh Ketua Majelis Hakim T Oyong dalam perkara tersebut.

Menurutnya ada banyak aturan yang dilanggar oleh PN Jakpus dalam memutus Perkara nomor: 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst itu. Salah satunya yakni melanggar Pasal 10 dan 11 Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2019.

"Saya pikir memang ada yang sangat janggal di putusan PN Jakpus, karena berdasarkan Perma Nomor 2 Tahun 2019, untuk perkara Perbuatan Melanggar Hukum (PMH) tidak lagi di PN tapi semuanya harus dialihkan ke PTUN," jelasnya kepada CNNIndonesia.com.

Selain itu, Feri mengatakan putusan yang ditetapkan oleh PN Jakpus juga catat secara konstitusional lantaran melanggar UUD 1945 terkait asas penyelenggaraan Pemilu.

"Sekuat apa kemudian PN melanggar aturan yang ada di UUD, padahal Mahkamah Konstitusi (MK) saja tidak mempunyai kewenangan itu. Jadi melihatnya jadi sangat janggal," tuturnya.

Lebih lanjut ia menilai jikalau gugatan tersebut diproses oleh PTUN, maka putusannya juga tidak serta-merta berupa penundaan Pemilu 2024. Feri mengingatkan bahwa dalam gugatan perdata itu, yang seharusnya diperbaiki oleh putusan hakim yakni hak keperdataan Partai PRIMA.

"Yaitu mereka diberikan hak untuk verifikasi kembali. Kok kemudian tiba-tiba meloncat untuk menunda penyelenggaraan pemilu, jadi janggal dan aneh kalau kemudian dikaitkan dengan konsep keperdataan," jelasnya.

Berlanjut ke halaman berikutnya...

MA Diminta Bersikap Lebih Tegas

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER