Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih menilai majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang memutus penundaan tahapan Pemilu 2024 telah melanggar kode etik dan pedoman perilaku.
Anggota koalisi, Saleh Al Ghifari, menyatakan majelis hakim yang terdiri dari T. Oyong, H. Bakri, dan Dominggus Silaban melanggar asas profesionalisme serta nilai-nilai hukum dan keluhuran masyarakat.
"Menurut kami, ini terang benderang pelanggaran kode etik dan perilaku hakim," ucap Saleh di Kantor Komisi Yudisial (KY), Jakarta, Senin (6/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saleh menjelaskan putusan perkara nomor: 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst tidak sesuai dengan Pasal 22 E ayat 1 UUD 1945 yang mengamanatkan Pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
Putusan PN Jakarta Pusat yang menunda tahapan Pemilu 2024 juga bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Saleh menjelaskan dalam UU Pemilu hanya dikenal pemilu susulan dan lanjutan.
"Kami telah berdiskusi dengan Ketua KY [Mukti Fajar Nur Dewata] dan komisioner bahwa ini memang perkara serius, dan seharusnya menjadi prioritas KY. Dan, tadi sudah disampaikan bahwa kalau dibutuhkan ini akan diperiksa dengan pemeriksaan bersama Mahkamah Agung," kata Saleh.
"Kami berharap ini juga bisa dilakukan agar perdebatan tentang teknis yudisial bisa teratasi, karena [putusan PN Jakarta Pusat] ini sangat jauh melenceng," sambungnya.
Lihat Juga : |
Pada Senin ini, KY menerima laporan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku majelis hakim PN Jakarta Pusat yang memutus penundaan tahapan Pemilu 2024.
Laporan dibuat oleh Kongres Pemuda Indonesia (KPI) yang diwakili advokat Pitra Romadoni dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih.
Laporan berkaitan dengan keputusan PN Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil dan Makmur (Prima) dengan menghukum KPU tidak melaksanakan tahapan Pemilu 2024.
Lihat Juga : |
Pengadilan menyatakan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum. KPU diminta membayar ganti rugi materiel sebesar Rp500 juta kepada Partai PRIMA. Pengadilan memerintahkan agar putusan secara serta merta dijalankan.
KY pun mulai bekerja mendalami dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku majelis hakim.
Sementara itu, Humas PN Jakarta Pusat Zulkifli Atjo menegaskan putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkrah lantaran KPU menyatakan banding.
Juru Bicara Mahkamah Agung Suharto menegaskan majelis hakim PN Jakarta Pusat tak bisa disalahkan soal putusan tersebut. Menurutnya, hakim memiliki independensi dalam membuat atau menjatuhkan putusan suatu perkara.
(ryn/tsa)