Ulama Perempuan Tak Setuju Kawin Paksa Akibat Zina dan Hamil Duluan
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menyatakan kasus pemaksaan perkawinan tak bisa dibenarkan dalam kasus zina dan hamil yang tak diinginkan.
Hal tersebut disampaikan anggota KUPI Umdah el-Baroroh dalam sesi tanya jawab dengan wartawan dalam acara diseminasi hasil musyawarah keagamaan KUPI II di Jakarta, Selasa (7/3).
"Kita harus hati-hati, karena pernikahan di dalam agama punya niat yang mulia, yakni tujuan untuk membentuk keluarga yang baik. Hal itu tidak bisa dilakukan dengan cara yang tidak baik," ujar Umdah.
Menurutnya, keputusan menikahkan secara paksa bukan solusi dalam kasus perzinaan dan kehamilan tidak diinginkan. Sebab, banyak faktor yang bisa membuat anak-anak khususnya perempuan, berbuat zina atau hamil duluan.
"Di antaranya, faktor orang tua, keluarga, masyarakat, termasuk negara. Bagaimana kita punya tanggung jawab untuk memberi kehidupan. Sebab, kasus seperti itu menunjukkan ada pihak-pihak yang lalai," tuturnya.
Ia juga berpendapat perzinaan bisa terjadi lantaran seorang anak merasa tidak mendapat jaminan keamanan. Menurutnya, peran pendidikan seks di Indonesia juga masih kurang.
"Peran pendidikan juga penting terkait kesehatan reproduksi tapi tak pernah dilakukan. Sehingga anak-anak kita yang awam bagaimana memahami fungsi alat reproduksinya tidak mengerti bagaimana menggunakan alat reproduksinya secara bertanggung jawab," kata dia.
Dirinya juga mengimbau masyarakat agar tidak menyalahkan anak, khususnya perempuan sebagai pihak yang bertanggung jawab.
"Sementara dia (dinikahkan paksa) tidak diajak bicara sebagai subjek yang berhak menentukan masa depannya. Sehingga dia menjadi korban dan diberi stigma oleh masyarakat," ucapnya.
Menurutnya, pemaksaan perkawinan berdampak buruk secara sistemik terhadap perempuan, baik secara psikis, sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
"Praktik pemaksaan perkawinan menimbulkan dampak yang mengancam keselamatan jiwa perempuan seperti trauma psikis, depresi, stigma negatif, perceraian, konflik keluarga, perselingkuhan, dan pengucilan sosial, hingga bunuh diri akibat putus asa," ujar Umdah.
(psr/wis)