Wamenkumham Sebut RUU Perampasan Aset Atur Korporasi Wajib Lapor Harta
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengungkap RUU Perampasan Aset akan mengatur kewajiban bagi korporasi untuk melaporkan asetnya ke pemerintah.
Ia mengatakan pelaporan kepemilikan aset oleh korporasi kepada negara ini dimasukkan dalam draf RUU Perampasan Aset itu dengan tujuan pencegahan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
"Itu akan diatur, itu diatur dalam RUU Perampasan Aset. Jadi semacam suatu pencegahan, jadi korporasi itu kan dia memberitahukan bahwa dia punya aset berapa segala macam supaya dia tidak dijadikan sebagai tempat pencucian uang," kata pria yang karib disapa Eddie itu saat dijumpai di kampus UGM, Di Yogyakarta, Jumat (10/3).
Meskipun demikian, ia mengatakan mekanisme pelaporan aset korporasi ke pemerintah ini masih dalam pembahasan.
"Ini yang nanti masih akan dibahas. Kan masih berbentuk rancangan," ujar pria yang dikenal sebagai Guru Besar Hukum Pidana UGM itu.
Eddie dalam kesempatan ini turut membeberkan poin alot dalam mematangkan subtansi RUU Perampasan Aset di internal pemerintah. Salah satunya mengenai Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 menjadi salah satu rujukan pembentukan RUU Perampasan Aset.
Ia menerangkan dalam upaya perampasan aset tindak pidana terdapat dua mekanisme yang dapat digunakan untuk merampas aset.
Dua mekanisme itu adalah perampasan aset yang didasarkan pada dakwaan pidana (conviction based asset forfeiture) dan perampasan aset tanpa didasarkan pada dakwaan pidana (non-conviction based asset forfeiture).
Mekanisme pertama merupakan mekanisme yang lazim digunakan dalam kerangka hukum pidana yang ada saat ini.
"Artinya kita baru bisa merampas aset setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap. Artinya kan kita pakai dalam jalur pidana," kata Eddie.
Adapun mekanisme kedua, atau non-conviction based dilakukan berdasarkan asas pembuktian formil dan dilakukan dalam kerangka hukum perdata.
"Meskipun perampasan aset di berbagai negara itu tidak hanya conviction based asset forfeiture, tapi bisa juga non-conviction based. Artinya bisa diakukan gugatan perdata. Itu yang mungkin akan kita bahas di dalam RUU Perampasan Aset," ujar Eddie.
Selain itu, Eddie mengatakan draf RUU Perampasan Aset masih dalam tahap harmonisasi sebelum diserahkan kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) untuk dibahas bersama DPR.
"Kita berusaha, kan nanti ada pembukaan masa sidang minggu depan. Selasa tanggal 14 (Maret). Kalau bisa sudah mulai dibahas pada masa sidang berikutnya," janji Eddie.
(kum/kid)