Al Ittihadiyah, Perlawanan Ulama Melayu pada Politik Adu Domba Belanda
Puluhan ulama sekaligus pengurus Al Ittihadiyah berseragam batik berwarna hijau menghadiri prosesi pembukaan Muktamar di Kantor Wakil Presiden, Jakarta pada 14 September 2022 lalu. Muktamar Al Ittihadiyah kala itu juga digelar bersamaan di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta.
Dalam sambutannya, Ketua Umum Al Ittihadiyah periode 2016-2021 Lukmanul Hakim berharap persatuan dan kesatuan di Indonesia tetap dijaga agar bangsa terus maju dan dan mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional.
Lukman pada kesempatan itu juga turut mendaulat Wakil Presiden Ma'ruf Amin sebagai Rais Al Ittihadiyah.
"Bapak KH Ma'ruf Amin pernah menjadi Ra'is Aam Nahdlatul Ulama, pernah menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam beberapa diskusi pra muktamar, di Al Ittihadiyah maka saatnya sekarang Bapak KH Ma'ruf Amin menjadi Ra'is seluruh ormas termasuk Ra'is Al-Ittihadiyah," kata Lukman di depan Ma'ruf kala itu.
Organisasi Islam Al Ittihadiyah lahir di Sumatera Utara pada tahun 1935 oleh Syekh Ahmad Dahlan. Organisasi ini dideklarasikan di Gedung Zellefstandig (Yong Islamiten Bond) yang terletak di belakang Masjid Raya Medan oleh ulama-ulama Melayu.
Syekh Ahmad Dahlan merupakan seorang ulama yang berasal dari Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara. Tokoh etnis Melayu ini lulusan Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Sekembalinya ke Indonesia, ia menekuni profesi sebagai guru agama.
Kehadiran organisasi ini dilatarbelakangi respons umat Islam di wilayah Sumatera Timur terhadap kondisi penjajah Belanda melancarkan politik pecah-belah yang melemahkan kekuatan umat Islam.
Tulisan Saidurrahman dalam buku 'Eksistensi Organisasi Al Ittihadiyah' (2019) menjelaskan organisasi ini hadir ketika kondisi politik pecah belah Belanda membuat terjadinya pertentangan dan rasa saling curiga antara ulama dan cendekiawan. Cendekiawan dituduh ulama sebagai kaki tangan Belanda, di sisi lain ulama oleh cendekiawan dituduh sebagai orang yang kolot, terbelakang dan tidak mampu berpikir progresif. Masing-masing pihak merasa paling benar.
Dikotomi antara cendekiawan dan ulama seharusnya tidak terjadi. Hal ini membuat Ahmad Dahlan merasa prihatin dan harus mengakhiri dikotomi tersebut. Sehingga mereka membentuk wadah Al-Ittihadiyah yang artinya 'mempersatukan'. Makna persatuan ini dimaksudkan untuk menjembatani kesenjangan dan perseteruan antara Kaum Muda dan Kaum Tua, antara ulama dan kelompok intelektual serta antara kaum bangsawan dan masyarakat awam.
Selain itu, Syekh Ahmad Dahlan juga berkeinginan untuk menyelenggarakan sistem pendidikan Islam yang lebih teratur, lebih modern dan terorganisir ke dalam suatu organisasi. Khususnya sekolah-sekolah atau perguruan Islam yang belum tergabung dalam suatu organisasi tertentu.
Saat awal didirikan, Al-Ittihadiyah membentuk majelis-majelis yang terdiri atas Madjelis Organisatie dan Djoeroe Periksa, Madjelis Secretarie dan Penjiaran Oemoem, Madjelis Tarbijah, Madjelis Tabligh, Madjelis Fatwa dan Madjelis Pers dan Propaganda. Al-Ittihadiyah juga membentuk badan-badan otonom organisasi, seperti Persatuan Pemuda Al-Ittihadiyah (PPAI) dan Persatuan Puteri Al-Ittihadiyah (PERPAI).
Pada awal pendiriannya, Al Rasyidin dalam tulisannya 'Organisasi Islam Di Tanah Melayu: Ideologi dan Gerakan Al-ittihadiyah Sebelum Era Reformasi' (2018) menjelaskan badan-badan otonom khususnya PPAI dan PERPAl sering difungsikan sebagai instrumen untuk unjuk kekuatan (showforce) melalui pawai akbar untuk menarik minat masyarakat, khususnya generasi muda, untuk bergabung ke Al Ittihadiyah.
Fakta menarik, seluruh pawai unjuk kekuatan itu selalu berakhir di Istana Maimun dan diterima oleh Sultan Negeri Deli. Dari sini, tampak relasi yang kuat antara Al-Ittihadiyah dengan Kesultanan Melayu.
Al Rasyidin juga mencatat pada fase awal pendirian organisasi, Al Ittihadiyah memiliki corak merangkul dan melibatkan penguasa wilayah ke dalam organisasi. Contohnya, organisasi ini mendapatkan dukungan Sultan Langkat dan merangkul Sultan Serdang dan putera mahkota kerajaan Deli menjadi penasihat Al-Ittihadiyah. Bahkan, Al Ittihadiyah berhasil membangun beberapa cabang di Sumatera Utara kala itu tak lepas dari keterlibatan aktif penguasa daerah setempat.
Sejak awal berdiri, Al Ittihadiyah secara tegas menyatakan bahwa mereka berpendirian menurut Iktikad Ahlussunnah Wal Jama'ah.
Azhari Akmal Tarigan dalam tulisannya di buku 'Eksistensi Organisasi Al Ittihadiyah' (2019) menjelaskan Muktamar di Jakarta 1980 ditetapkan Al Ittihadiyah berasaskan Pancasila dan UUD 1945, berlandaskan Islam, berpedoman dasar Alquran dan Hadis Nabi Muhammad SAW, Ijmak dan Kias, bermazhab Syafi'i dalam bidang amaliah dan mengikuti Ahlussunnah Wal Jama'ah dalam bidang keimanan.