Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah mengklaim perubahan frasa "dengan demikian" menjadi "ke depan" dalam putusan perkara nomor: 103/PUU-XX/2022 merupakan sebuah usulan bukan perintah.
Guntur menyatakan usulan tersebut disampaikan sebelum putusan perkara tersebut selesai dibacakan. Menurut dia, tindakan itu dilindungi oleh prinsip Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dijamin dalam Pasal 24 ayat 1 UUD 1945.
Hal itu terungkap dalam putusan yang dibacakan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada hari ini, Senin (20/3). Guntur dinyatakan terbukti melanggar etik dan disanksi teguran tertulis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bahwa hakim terduga [M Guntur Hamzah] menyampaikan bahwa putusan selesai dibacakan jam 16.03 WIB yang ditandai dengan ketuk palu ketua majelis hakim. Menurut hakim terduga, putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan," ucap anggota Majelis Kehormatan MK Enny Nurbaningsih saat membacakan kesaksian Guntur.
"Sementara itu, hakim terduga menyampaikan usulan perbaikan kepada panitera pada pukul 15.24 WIB, sehingga jauh sebelum putusan diputus, sebelum hakim Saldi Isra membacakan frasa "dengan demikian". Oleh karenanya, menurut hakim terduga, dirinya menyampaikan usulan dalam forum yang resmi, maka hal tersebut dilindungi oleh prinsip Kekuasaan Kehakiman sebagaimana dijamin dalam Pasal 24 ayat 1 UUD 1945," sambung Enny.
Dalam kesaksiannya, Guntur turut menyalahkan panitera yang keliru memproses sebuah usulan hakim. Dia menjelaskan panitera merupakan pejabat tinggi sehingga tidak elok dan etis jika tidak memahami posisinya untuk melayani hakim terkait hal-hal yang bersifat teknis yudisial.
Menurut Guntur, setelah menjabat lima tahun, panitera seharusnya sudah paham proses suatu usulan dari hakim.
"Sehingga ketika disampaikan usulan tersebut oleh panitera ke hakim Arief Hidayat telah ada konfirmasi usulan tersebut yang menurut panitera dinyatakan "oke, sudah disetujui". Namun, jika panitera memahami fungsi dan tugasnya serta bertaat asas seharusnya menyampaikan kepada hakim lain sebelum disampaikan ke operator untuk dilakukan perubahan," ucap Enny.
Guntur memandang seharusnya ada garis demarkasi antara usulan hakim yang merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman dengan pelaksanaan tindak lanjut teknisnya. Menurut dia, pelaksanaan teknis dimaksud harus memastikan sudah mendapat persetujuan hakim.
"Jika panitera profesional, tidak ceroboh atau lalai, panitera mestinya menanyakan lagi karena hakim terduga tidak mungkin dirinya menyampaikan sendiri kepada hakim lainnya. Apalagi posisi duduk hakim satu dengan lainnya cukup berjarak. Oleh karena itu, hakim terduga berharap usulannya diproses oleh panitera untuk dimintakan persetujuan hakim-hakim yang lain," kata Enny.
Dalam pembelaan poin delapan, Guntur menjelaskan dirinya bukan ingin mencoret frasa "dengan demikian", tetapi hanya untuk memperjelas usulan kepada panitera. Menurut dia, apabila dirinya ingin keluar dari koridor kaidah hakim, lembar yang dikembalikan oleh panitera akan dimusnahkan.
"Tetapi hal itu tidak dilakukan bahkan panitera telah mengkopinya sebagai bukti," tandas Enny.
"Menurut hakim terduga, tidak ada intensi sama sekali untuk menutupi sehingga kalau pun usulannya ditolak juga tidak apa-apa," pungkasnya.
Detail perubahan substansi putusan perkara nomor: 103/PUU-XX/2022 yang dipermasalahkan tersebut berbunyi:
Kalimat yang diucapkan hakim konstitusi Saldi Isra pada 23 November 2022 yaitu:
"Dengan demikian, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK..... dan seterusnya."
Sedangkan yang tertuang dalam salinan putusan di situs MK yaitu:
"Ke depan, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK..... dan seterusnya."
(ryn/isn)