Eks pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto dan Novel Baswedan menilai terungkapnya transaksi janggal di Kementerian Keuangan menjadi momentum pemerintah memperbaiki sistem.
Mantan penyidik senior KPK Novel Baswedan dalam sebuah video yang diunggah di akun Youtubenya menuturkan idealnya, momen tersebut bisa digunakan untuk membenahi sistem sekaligus mengecek sumber kekayaan pejabat negara.
"Idealnya momen ini digunakan untuk memperbaiki sistem-sistem, dan ketika ada oknum yang punya harta banyak sekali, diduga hasil korupsi di bidang kerjanya dia di situ tentu harus diteliti kan dia mengambilnya dari mana, dari pintu-pintu mana dia ambil kekayaaan itu," tutur dalam sebuah video di akun Youtubenya dengan judul 'Gempa Skandal Rp300 T Kemenkeu | Bersama Rocky Gerung' dikutip CNNIndonesia.com., Rabu (22/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kesempatan sama, mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) menyampaikan momen ini menjadi kesempatan untuk melihat bagaimana sistem yang ada membuka ruang bagi para oknum untuk melakukan aksinya.
Bambang menyoroti soal Laporan Hasil Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) yang selama ini hanya menjadi sebuah syarat administratif.
"Orang bukan tidak boleh kaya, boleh, tapi kemudian apakah asal usul kekayaannya itu match dengan asal usul penerimaannya itu, ini yang dipersoalkan soal itu dan sistem kita LHKPN itu sungguh-sungguh hanya bersifat administratif saja, artinya itu harus diubah," ucap dia.
Bambang turut menyinggung soal United Nation Convention Against Corruption, di mana salah satu pasalnya menyebutkan terkait illicit enrichment atau kekayaaan yang tidak bisa dijelaskan asal usulnya.
"Illicet enrichment itu adalah kekayaan yang tidak bisa dijelaskan asal usulnya dan tidak masuk akal, maka itu bisa dirampas dan rancangan undang-undang perampasan aset itu juga harus menjangkau sampai di sana, yang sekarang belum sampai dan enggak ada," ujarnya.
Selain itu, Bambang juga menyoroti soal single identity number. Menurutnya, penggabungan NIK dengan NPWP sudah tepat, namun belum bisa menjawab soal kepemilikan aset.
"Misalnya begini sertifikat itu kodenya harus merujuk pada NIK supaya beneficiary owner itu bisa ter-capture juga, nah ini yang tidak dipakai momentumnya, jadi sayang banget," kata Bambang.
"Ini mestinya dikerjain jadi by sistem, ini kesempatan besar dan saya enggak mendengar percakapan itu," sambungnya.
Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD menyebut transaksi mencurigakan diduga tindak pidana pencucian uang (TPPU) bukan sebesar Rp300 triliun namun mencapai Rp349 triliun.
Mahfud menyebut transaksi janggal itu melibatkan pegawai Kementerian Keuangan dan pihak luar. Kata dia, transaksi ini terkait dugaan pencucian uang dan lebih berbahaya daripada korupsi.
"Korupsi ini ukurannya jelas, merugikan keuangan negara, memperkaya diri sendiri, melawan hukum itu sudah korupsi. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi itu korupsi. Tapi pencucian uang itu lebih bahaya," kata Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (20/3).
(dis/dzu)