Nizar Yamanie
Nizar Yamanie
Pemerhati kesehatan, Kepala Unit Medis Rumah Sakit Pusat Otak Nasional
KOLOM

Menyoal Rekomendasi IDI

Nizar Yamanie | CNN Indonesia
Jumat, 24 Mar 2023 09:43 WIB
Penerbitan surat STR dan SIP bagi dokter saat ini mesti dilengkapi dengan rekomendasi dari perhimpunan dokter atau kolegium. Apa masalahnya?
Ilustrasi. (iStock/Chinnapong)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia --

Akhir-akhir ini, marak perdebatan terkait peran Ikatan Dokter Indonesia (IDI) beserta unit-unit di bawahnya seperti perhimpunan spesialis dan kolegium terkait wewenang mereka menerbitkan "rekomendasi" atau persetujuan untuk dokter mengurus Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP).

Dokter diwajibkan memiliki STR agar mendapat SIP supaya bisa praktik. Dua "izin" tersebut wajib diperpanjang 5 tahun sekali.

Secara formal, STR dikeluarkan oleh lembaga pemerintah Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan SIP oleh pemerintah daerah. Namun dalam prosesnya, peran IDI dan unit-unitnya sangatlah besar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Contoh, KKI tidak bisa menerbitkan STR untuk dokter jika kolegium belum menyetujui satuan kredit poin (SKP) dokter bersangkutan hingga dinilai cukup. Pemda tidak bisa menerbitkan SIP untuk dokter jika perhimpunan spesialis dan IDI daerah setempat tidak mau mengeluarkan "rekomendasi".

Jadi dalam prosesnya, peran IDI sangat penting, namun unsur subjektifitas juga turut bermain.

Peran IDI sebagai organisasi massa yang memiliki wewenang "perizinan" tidak ada presedennya di ranah kedokteran negara maju dan bahkan di negara tetangga kita seperti Malaysia, Singapura dan Thailand. Masalah izin dan jaminan menjaga kompetensi dokter sepenuhnya wewenang pemerintah tanpa terikat atau bahkan tersandera oleh organisasi profesi dalam proses penerbitannya.

Ibaratnya, peran IDI ini seperti kita mengurus Surat Izin Pengemudi (SIM) ke Polda namun ada syarat wajib meminta "rekomendasi" dari asosiasi supir untuk memastikan pemohon memiliki kompetensi menyetir sebelum diproses di Polda. Itu ibaratnya ya.

Dulu, rekomendasi IDI dibutuhkan untuk menjaga agar dalam satu lokasi tidak banyak dokter. IDI diminta untuk membantu mengatur di saat kapasitas pemerintah masih terbatas.

Namun, sekarang zaman sudah berubah, bukan geografi dan individu dokter yang menentukan, tapi kebutuhan rumah sakitlah yang berperan.

Dulu, pelayanan kesehatan adalah pelayanan dokter yang praktik, tetapi kalau sekarang sistem yang melayani. Sistem itu berupa fasilitas kesehatan seperti puskesmas, klinik dan rumah sakit. Jadi layanan itu adalah produk sistem dan bukan produk individu dokter.

Dokter bekerja pada sistem sebagai tenaga kerja. Kalau IDI sebagai organisasi serikat pekerja menentukan "izin praktik", maka itu tidak pas.

Kenapa? Pertama karena bisa terjadi perbedaan kebutuhan tenaga kerja dengan pemberi kerja. Kedua, kalau dulu peran IDI sekadar menjaga keseimbangan distribusi dokter, sekarang tidak. Pemberi kerja akan mencari dokter-dokter terbaik dan tentunya kalau tidak mendapatkan rekomendasi dari IDI, para pemberi kerja ini sulit mencari tenaga kerja terbaik karena terhambat.

Saat ini memang terjadi kekurangan dokter spesialis tidak hanya di daerah tapi juga di provinsi-provinsi besar. Saya tidak menyalahkan siapa-siapa. Tapi yang jelas, sistem yang saat ini berjalan gagal menyediakan dokter spesialis sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Wewenang IDI untuk memberi "izin" membuat lalu lintas dokter spesialis itu menjadi tidak lancar. Contoh baru-baru ini: Sekretaris Daerah Kalimantan Barat mengeluh RSUD provinsi memerlukan spesialis dan sudah siap namun tidak bisa praktik karena "izin" dari IDI setempat tidak terbit.

Apa yang terjadi di Kalimantan Barat adalah contoh terbaru jika wewenang IDI dalam pemberian "izin" tidak sejalan dengan rencana jangka panjang negara dalam membangun sistem pelayanan kesehatan yang kuat.

Di mana tidak sejalannya? Negara kita masih kekurangan dokter, terutama dokter spesialis dan sub-spesialis.

Rasio jumlah dokter, termasuk dokter umum dan dokter spesialis, dengan jumlah penduduk sangat timpang. Menurut World Bank dan WHO, idealnya 1 dokter melayani 1000 orang. Di Indonesia, rasionya baru 0,46/1000 orang. Artinya, separuhnya saja belum. Bahkan di ASEAN, kita hanya menang dari Laos dan Kamboja.

Sudah dokternya kurang, masih saja dihambat distribusinya. Bagaimana kita mau mengatasi masalah pemerataan dokter kalau jumlahnya pun masih sangat kurang?

Dengan semua persoalan itu, masih saja ada aktivis kedokteran yang meragukan kalau jumlah dokter kita tidak cukup, dan bahkan menolak mengakui acuan WHO tersebut dan memilih membuat acuan sendiri yang menafikan logika.

Contoh lain adalah rumah sakit rujukan jantung Harapan Kita di Jakarta. Di sana, Anda akan menemukan bahwa antrian operasi untuk anak pengidap kongenital (kelainan) paling cepat 8 bulan, dan sebagian besar mereka datang dari daerah. Hal yang sama juga terjadi di rumah sakit Pusat Otak Nasional, Jakarta. Lalu apa yang terjadi di daerah yang jauh dari kota?

Pembenahan STR dan SIP tentunya akan melindungi dokter dari birokrasi yang panjang, biaya yang mahal dan juga perlakuan tidak adil.

Mutu dokter harus unggul adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar. Namun, menghasilkan dokter bermutu tidak harus ditempuh dengan jalan sulit, mahal, dan berliku. Sekarang adalah era yang mengharuskan kita bertindak lebih cepat, tepat, dan transparan, atau kita akan tertinggal jauh dalam segala sisi dari negara lain.

(stu)


[Gambas:Video CNN]
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER