Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) ikut mengomentari wacana koalisi besar untuk Pilpres 2024.
Berdasarkan hasil kajian BPHN, gagasan pembentukan koalisi besar tidak dilarang dalam konstitusi. Disampaikan dalam Focus Group Discussion dengan tema 'Tantangan Sistem Presidensial, Koalisi Parpol dan Oposisi serta Dampaknya pada Pembentukan Kabinet Hasil Pilpres 2024 di Indonesia', Selasa (4/4).
"UUD 1945 memberikan kemungkinan calon presiden dan wakil presiden diusung oleh partai politik atau gabungan beberapa partai politik. Maka, gagasan membentuk koalisi besar pada saat menjelang Pilpres 2024 secara politik merupakan hal yang logis dan biasa," ujar Kepala BPHN Widodo Ekatjahjana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menjelaskan partai politik yang dapat mengusung sendiri calon presiden dan wakil presiden dapat mengajak partai lain untuk bergabung menjadi partai pendukung. Hal itu agar kedudukan presiden dan pemerintahan yang dibentuk kuat dan stabil.
Dengan begitu, menurut dia, dalam format koalisi besar Pilpres 2024 nanti ada unsur partai pengusung dan partai pendukung.
"Partai pengusung dan partai pendukung dapat bekerja sama untuk tidak memenangkan Pilpres 2024 saja, namun juga untuk membentuk kekuatan politik di lembaga perwakilan (parlemen) dan di kabinet pemerintahan," terang Widodo.
"Itu sebabnya koalisi besar yang dibangun oleh partai-partai politik itu idealnya mengarah pada tiga bentuk koalisi, yaitu koalisi untuk pemenangan pilpres, koalisi untuk membentuk kekuatan politik di lembaga perwakilan (parlemen) dan koalisi di kabinet pemerintahan," imbuhnya.
Ia menambahkan partai pengusung harus mengakomodasi kepentingan politik partai pendukung. Begitu pun sebaliknya.
Oleh karena itu, tutur Widodo, koalisi besar yang dibangun harus memiliki platform dan tujuan politik yang sama yaitu membentuk kekuasaan pemerintahan negara yang konstitusional-demokratis hingga mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Di kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (PUSHAN) Oce Madril mengungkapkan praktik pembentukan kabinet di Indonesia akhir-akhir ini lebih mencerminkan sistem parlementer daripada sistem presidensial. Kata dia, praktik tersebut telah jauh menyimpang dari kehendak konstitusi.
"Padahal, menurut konstitusi, partai politik menjadi satu-satunya pintu masuk bagi seorang warga negara yang memenuhi syarat untuk menjadi calon presiden dan/atau wakil presiden," tutur Oce.
Ia menjelaskan kedudukan partai politik pengusung presiden tidak sama dengan partai politik pendukung atau partai politik lainnya. Partai politik pengusung presiden mendapatkan hak atau wewenang istimewa yang bersumber dari ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
Ketua Pusat Studi Pancasila dan Penyelenggaraan Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana Jimmy Z. Usfunan menambahkan kerja sama yang dibalut koalisi besar jangan bersifat pragmatis. Sebab, hal itu dapat menjadi ancaman bagi sistem presidensial dan pembentukan kabinet pemerintahan.
"Partai pengusung yang memiliki kedudukan istimewa karena dapat mengusung sendiri menurut konstitusi mesti dapat mengonsolidasi spirit gotong-royong untuk membentuk kekuatan politik bersama partai pendukung untuk memenangkan pilpres, menguasai parlemen dan membentuk pemerintahan presidensial sesuai konstitusi," kata Jimmy.