Pleidoi Linda: Difitnah Teddy Minahasa Jadi Bandar Narkoba, Mau Bebas
Terdakwa Linda Pujiastuti alias Anita memohon kepada majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat agar membebaskannya dari tuntutan pidana 18 tahun penjara dalam kasus narkoba yang turut mantan Kapolda Sumatera Barat Irjen Teddy Minahasa.
Permohonan itu disampaikan dalam sidang dengan agenda pembacaan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Rabu (5/4).
"Menyatakan terdakwa Linda Pujiastuti alias Anita tidak bersalah sebagaimana di dakwaan jaksa penuntut umum dalam dakwaan pertama," ujar penasihat hukum Linda, Adriel Viari Purba.
Selain itu, Linda meminta agar majelis hakim memulihkan hak-haknya seperti sedia kala dan mengabulkan pemohonan status justice collaborator (JC) dalam perkara tersebut.
Linda mengatakan bahwa dirinya telah memenuhi syarat sebagai justice collaborator dengan mengakui segala perbuatannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, dan memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
Hal itu sebagaimana termaktub dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (JC).
"Menyatakan terdakwa Linda Pujiastuti alias Anita sebagai saksi pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator," kata Adriel.
Pleidoi Linda: cari lawan Teddy Minahasa, Difitnah jadi bandar narkoba
mengaku menjalankan perintah mantan Kapolda Sumatera Barat Teddy Minahasa untuk mencarikan pembeli narkoba dan berhasil mengantongi uang senilai Rp350 juta.
Kemudian, Teddy meminta Linda untuk menyerahkan uang tersebut kepada mantan Kapolres Bukittinggi AKBP Dody Prawiranegara.
"Saya menjalankan perintah Bapak Teddy Minahasa untuk mencarikan lawan dan berhasil mendapatkan Rp350 juta, di mana Bapak Teddy meminta saya untuk menyerahkan uang tersebut kepada Dody," kata Linda saat membacakan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, Rabu (5/4).
Namun, di dalam persidangan yang bergulir di PN Jakarta Barat, Linda justru dituding sebagai bandar narkoba.
Bahkan, kata dia, Teddy mengelak pernah memerintah dirinya untuk mencari pembeli narkoba dan menerima uang tersebut.
"Di mana dalam persidangan yang berlangsung malah saya dituduh sebagai seorang bandar narkoba yang dimana dikatakan oleh Bapak Teddy Minahasa bahwa beliau tidak pernah menerima uang tersebut dan tidak pernah memberikan perintah untuk mencarikan lawan untuk mencari pembeli," ujarnya.
"Pada akhirnya saya difitnah oleh Pak Teddy Minahasa dengan dalih sakit hati, karena dikatakan bahwa saya telah menipu beliau," imbuhnya.
Linda menyebut Teddy telah memfitnah dirinya dengan dalih sakit hati lantaran pernah ditipu. Padahal, kata dia, saat misi penyelidikan di Laut Cina Selatan pada 2019 lalu, Teddy mengaku ikhlas dan memaafkan dirinya yang kala itu gagal melakukan penangkapan peredaran narkoba.
"Namun pada persidangan ini, beliau terus menyudutkan saya seolah-olah saya seorang bandar narkoba yang besar, sehingga perlu dilakukan skema skenario penjebakan seorang jenderal yang besar dan aktif. Padahal juga jelas dalam pesan singkat tersebut beliau lah yang menyuruh saya," jelas Linda.
Lebih jauh Linda mengaku kerap merenungi nasib malangnya di balik jeruji besi. Ia tak pernah membayangkan akan terjerumus dalam kubangan penderitaan yang disebabkan oleh perkara narkoba.
"Di dalam ruang tahanan yang sempit saya terus merenungi betapa rapuhnya kehidupan saya yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa kehidupan saya akan jatuh terperosok dalam permasalahan seperti ini," tuturnya.
Ia menyadari bahwa penyesalan kerap tiba belakangan. Hal itu kemudian membuat dirinya stres dan jatuh sakit.
Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut Linda dengan hukuman pidana 18 tahun penjara dan denda Rp2 miliar subsider enam bulan kurungan lantaran dinilai menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I bukan tanaman yang beratnya lebih dari 5 gram.
Tindak pidana itu dilakukan Linda bersama Teddy Minahasa, AKBP Dody Prawiranegara, Kompol Kasranto, Aiptu Janto Parluhutan Situmorang, Muhammad Nasir, dan Syamsul Maarif.
Sementara itu, Teddy dituntut dengan hukuman mati lantaran dinilai secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan peredaran narkoba secara ilegal.
Kemudian Dody dituntut dengan pidana 20 tahun penjara, Kasranto dan Syamsul Ma'arif sama-sama dituntut pidana 17 tahun penjara. Sedangkan Janto dituntut pidana 15 tahun penjara.
Jaksa juga meminta majelis hakim menghukum mereka untuk membayar denda sebesar Rp2 miliar subsider enam bulan kurungan.
Mereka dinilai terbukti melanggar Pasal 114 Ayat (2) UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
(dal)