Jakarta, CNN Indonesia --
Ida Dayak mendadak viral usai setelah dianggap sebagai tabib yang mampu menyembuhkan sejumlah penyakit, mulai dari patah tulang, hingga disebut-sebut mampu menyembuhkan pasien yang tuli dan bisu.
Masyarakat pun berbondong-bondong mendatangi praktik pengobatan Ida. Seperti misalnya pada Senin (3/4) lalu, Ida terpaksa membatalkan praktiknya di GOR Divif 1 Kostrad, Depok, Jawa Barat lantaran antrean masyarakat mengular panjang.
Sosiolog Universitas Andalas, Indradin menilai fenomena pengobatan alternatif seperti Ida Dayak yang kemudian viral tidak hanya sekali terjadi di masyarakat. Ia mengingatkan kembali tentang fenomena Ponari dan 'batu bertuahnya' beberapa tahun silam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indradin menilai masyarakat Indonesia masih memiliki kecenderungan untuk menggemari pengobatan alternatif lantaran beberapa faktor. Pertama, masyarakat bertransformasi dan berevolusi dari kepercayaan terhadap pengobatan herbal dan alternatif hingga klenik, menuju kepada pengobatan modern.
Indradin menyebut evolusi itu tidak terjadi serempak, melainkan perlahan. Menurutnya, masih terdapat sejumlah kelompok yang tidak termakan modernisasi dan juga pengobatan medis yang berbasis penelitian dan bukti empiris.
Sejumlah masyarakat masih memegang teguh ajaran turun-temurun leluhur yang dipercayai, salah satunya dalam segi pengobatan yang kemudian tidak bisa dikesampingkan lantaran pengobatan alternatif sudah ada jauh sebelum pengobatan medis.
"Yang kedua, di masyarakat yang modern pun budaya-budaya instan itu kan tidak terhindarkan. Jadi orang itu gemar mencari jalan pintas," kata Indradin saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (5/4).
Indradin menilai masyarakat Indonesia, dari berbagai kelas sosial, pendidikan, dan ekonomi masih banyak yang menginginkan cara instan untuk menyembuhkan penyakitnya masing-masing.
Dengan iming-iming sembuh tanpa memerlukan perawatan medis yang lama dan cenderung mahal itu membuat mereka berpikir mudah untuk menjajal pengobatan alternatif.
"Apalagi terapi di dokter itu kan ada unsur coba-coba juga, dicoba dosis rendah, menengah, tinggi, ini kan butuh proses. Tapi memang mereka kan punya ilmu. Sementara masyarakat kita suka cepat, hari ini menanam pohon, besok tumbuh buah, kan gitu," ujarnya.
Kemudian yang ketiga, kata Indradin, masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan ikut-ikutan fenomena yang sedang viral di masyarakat. Banyak masyarakat yang fear of missing out (FOMO) dan mudah terpengaruh perkataan seseorang atau media sosial.
"Jadi itu tadi, masyarakat kita suka jalan pintas dan tidak ingin ketinggalan momen," ujar Indradin.
Lanjut ke halaman berikutnya...
Terpisah, Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menilai fenomena Ida Dayak sedikit banyak menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memang masih sangat terikat dengan budaya dan kepercayaan leluhur atau bahkan hal-hal yang bersifat metafisika.
Hermawan menyebut banyak masyarakat yang belum terpuaskan dengan layanan pengobatan medis, seperti BPJS. Ia menilai masyarakat memang cenderung mencari pengobatan yang sesuai dengan keinginan mereka, salah satunya melalui cara instan.
Namun, Hermawan tak menyalahkan masyarakat lantaran tak sedikit masyarakat yang enggan berobat ke fasilitas kesehatan lantaran pelayanan kesehatan di Indonesia membutuhkan proses yang tidak sebentar.
"Jadi masyarakat itu merasa pelayanan kesehatan yang selama ini ya secara psikologi publik, itu terkesan ribet, berulang, mahal, dan tidak nyata kesembuhannya," kata Hermawan kepada CNNIndonesia.com, Rabu (5/4).
Hermawan menjelaskan masih banyak masyarakat yang tidak memahami bahwa proses pengobatan harus melalui beberapa tahap, seperti pemeriksaan anamnesa dan fisik, observasi kondisi, pemeriksaan laboratorium, diagnosis, hingga berujung tindakan ataupun pemberian obat rutin.
Belum lagi kemudian kunjungan ke tenaga kesehatan atau tenaga medis yang terus berulang seperti kontrol dan sebagainya, sehingga menimbulkan keengganan bagi masyarakat untuk berobat.
"Nah, berikutnya juga mahal. Misalnya tindakan operasi untuk patah tulang atau wilayah-wilayah orthopedi itu kan diakses mahal, apalagi mereka yang tidak memiliki JKN atau BPJS," katanya.
Selanjutnya, Hermawan juga menilai teatrikal yang dilakukan Ida dengan kemudian mengenakan kostum dayak menambah animo masyarakat lantaran mereka akan merasa dekat dengan budaya nenek moyang.
"Buat masyarakat itu magis, dan sugesti menjadi ujungnya. Hal-hal seperti itu menjadi euforia dan harapan," ujarnya.
Lebih lanjut, Hermawan tak melarang warga memilih pengobatan alternatif lantaran tertuang dalam sejumlah regulasi. Di antaranya PP Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional. Kemudian Permenkes Nomor 15 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Tradisional Komplementer.
Permenkes Nomor 61 Tahun 2016 Pelayanan Kesehatan Tradisional Empiris, Permenkes Nomor 37 Tahun 2017 tentang pelayanan Kesehatan Tradisional Integrasi serta UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
Ia menyebut Indonesia memiliki warisan budaya termasuk pengobatan tradisional. Namun hal itu menurutnya tetap harus didukung penelitian empiris serta berdasarkan kajian ilmiah, sehingga ia meminta masyarakat tetap berhati-hati.
Hermawan juga meminta agar praktik pengobatan tradisional ataupun tenaga penyehat tradisional (Hatra) memiliki surat terdaftar penyehat tradisional (STPT). Dengan demikian, terdapat jaminan keamanan untuk pengobatan yang diberikan kepada masyarakat.
"Jangan sampai ada sugesti dan euforia sesaat tetapi berdampak pada risiko besar di kemudian hari. Sebab misalnya, meluruskan tulang yang patah itu tidak sekedar lurus, tetapi di situ ada sistem saraf, peredaran darah, organ yang berpotensi terganggu kalau asal diluruskan," kata Hermawan.
"Nah hal-hal itu secara medis kan sudah tuntas ya, karena akan di-rontgen, dipelajari bagaimana struktur tulangnya, sistem saraf, kan di medis begitu ya. Betapa tidak mudah untuk mengatakan benar apa yang dilakukan Ida Dayak, tetapi kita juga tak bisa menolak sampai ada penelitian ilmiah atau kajian lebih lanjut," imbuhnya.