Jakarta, CNN Indonesia --
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menjadi satu-satunya partai pemilik kursi di DPR yang belum tergabung dengan beberapa koalisi partai yang mulai terbentuk.
Partai berlambang banteng moncong putih itu juga belum gamblang menentukan sosok calon presiden dan wakil presiden yang bakal diusung di Pilpres 2024.
PDIP bisa mengusung capres dan cawapres tanpa koalisi dengan partai lain lantaran sudah memenuhi presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meskipun demikian Ketua DPP PDIP Puan Maharani tetap menjalin komunikasi politik dengan beberapa partai politik. Seperti dengan Gerindra hingga PKB.
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sudah menyampaikan pihaknya bakal mengusung kader sendiri sebagai capres. Ia tak mengungkap sosok tersebut dan segera mengumumkan dalam waktu dekat.
Perhelatan Pemilu 2024 semakin dekat. Pendaftaran calon presiden dan wakil presiden dibuka oleh KPU mulai 19 Oktober-25 November 2023. PDIP dinilai telah memainkan strategi last minute dalam penetapan capres 2024.
Pengamat Politik dari Universitas Esa Unggul M Jamiluddin Ritonga menilai PDIP gemar mengumumkan jagoan mereka di last minute. Ia menyebut PDIP juga masih menunggu komunikasi dengan partai lain.
"PDIP ini kan politiknya selalu berpikir di last minute. Kenapa? Karena mereka berharap calon-calon mereka tidak dikuliti pandangannya selama ini," kata Jamiluddin saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (14/4).
Jamiluddin mengatakan strategi last minute dipakai PDIP sebab mereka memiliki golden ticket. Namun, ia menilai PDIP tetap butuh koalisi agar semakin meraup suara banyak.
Menurutnya, PDIP butuh dukungan partai Islam. Partai yang paling cocok adalah PKB atau PPP.
Jamiluddin memprediksi apabila hingga akhir Mei 2023 ini PDIP belum memunculkan nama capres, kemungkinan besar mereka akan maju tanpa koalisi.
Di sisi lain, PDIP juga diprediksi akan sulit bergabung dengan Koalisi Besar yang digagas lima partai politik lantaran partai besutan Megawati itu akan bersaing dengan Gerindra yang juga ingin Prabowo Subianto menjadi capres.
"Dari dua partai agamis, saya melihat justru PKB berpeluang dengan PDIP. Karena kalau misalnya Pak Prabowo capres dan Ketua Umum PKB Cak Imin tidak dijadikan cawapres, ada kemungkinan PKB akan nyebrang ke PDIP," ujarnya.
Jamiluddin menilai saat ini PDIP memiliki dua opsi. Pertama, maju sendiri dengan memasangkan dua kadernya yang sangat memungkinkan, yakni Puan Maharani dengan tujuan mempertahankan trah Sukarno dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang memiliki elektablitas paling tinggi di PDIP.
Opsi kedua, PDIP tetap mempertahankan trah Sukarno melalui Puan Maharani dan rela menjadi cawapres pendamping Prabowo Subianto pada periode pertama dengan harapan apabila menang, Puan akan maju sebagai capres di Pilpres 2029.
"Pilihan kedua itu memungkinkan kalau PDIP melihat koalisi yang mendukung Anies kemudian elektabilitasnya naik dan sulit terbendung. Tapi kalau masih terbendung ya mereka mencalonkan sendiri dari kadernya," kata Jamiluddin.
[Gambas:Infografis CNN]
Jamiluddin menilai 'daya jual' Ganjar memang masih tinggi dan diperhitungkan partai, namun untuk sosok capres banyak pertimbangan dari Megawati. Loyalitas Ganjar saat menolak Israel pada Piala Dunia U-20 pun belum menjadi garansi namanya dipilih Megawati.
Saat ini, kata Jamiluddin, Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang digadang-gadang menjadi King Maker Pilpres 2024 malah terlihat berjalan dengan banyak kaki.
Menurutnya, saat ini Jokowi seperti tak merestui Ganjar tetapi lebih condong ke Prabowo usai pertemuan dengan lima partai yang menggagas Koalisi Besar.
"Pak Jokowi ini kan ingin mengamankan posisi dia di kemudian hari karena itu dia ingin memastikan Capres yang akan muncul itu setidaknya yang bisa mengamankan posisinya. Kalau soal Ganjar karena blunder penolakan Israel kan menunjukkan dia kurang loyal ke Jokowi," ujarnya.
Tak jauh berbeda, Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Arifki Chaniago menilai PDIP memang sulit bergabung dengan Koalisi Besar lantaran partai banteng itu mensyaratkan posisi capres sehingga akan terjadi tawar menawar alot.
Menurutnya, PDIP berpotensi mencalonkan sendiri kadernya sebagai capres dan cawapres apabila nantinya posisi mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tidak menjadi ancaman bagi mereka.
"Misalnya suaranya Anies naik, makanya pilihan PDIP bergabung bersama koalisi besar, dan jika itu dilakukan, Anies akan menjadi musuh bersama. Tetapi yang syarat kursi Capres dimintakan ke koalisi besar maka kemungkinn akan sulit karena karena ada Prabowo," kata Arifki kepada CNNIndonesia.com, Jumat (14/4).
Arifki menyebut PDIP bisa saja memainkan taktik lain dengan menggandeng sejumlah parpol yang tergabung dalam rencana Koalisi Besar. Nantinya, PDIP akan mengajak salah satu parpol dalam rencana koalisi besar untuk berkoalisi.
PDIP, kata Arifki, membutuhkan suara parpol Islam untuk menambah suara mereka. Ie menyebut ada tiga partai yang memungkinkan akan 'dicomot', antara PPP, PKB, atau PAN.
"Apakah nantinya dengan deal-dealan kursi cawapres atau kepentingan lain yang didapatkan parpol lain ketika berkoalisi dengan PDIP," katanya.
Namun, Arifki menilai Ganjar masih memiliki kesempatan besar untuk mengantongi restu sebagai capres ataupun cawapres yang akan diusung oleh PDIP. Terlebih Ganjar ikut menolak Israel dalam Piala Dunia U-20 yang selaras dengan sikap partai.
"Kita mungkin juga akan melihat ada nama-nama lain selain Ganjar, seperti Mahfud MD atau Puan Maharani yang akan diusung sebagai capres atau cawapres," ujarnya.