Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) tegas bersikap menolak PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. PP itu dianggap sebagai upaya pemerintah dalam berburu keuntungan ekonomi jangka pendek, namun mengorbankan kelestarian pesisir, laut, dan pulau kecil.
Penolakan itu WALHI suarakan kendati Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono mengklaim akan membuat tim kajian yang berisikan banyak unsur masyarakat, salah satunya Walhi untuk mengatur soal perizinan tambang pasir dan ekspor pasir laut hasil sedimentasi.
"Terkait tim kajian itu, dari awal Walhi tegas mendesak PP ini dicabut. Lalu tambang pasir laut harus moratorium permanen, jadi tidak boleh ada lagi tambang pasir, karena laut kita sedang butuh pemulihan," kata Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI Parid Ridwanuddin saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (31/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Parid menilai apabila pemerintah berniat menegakkan proses demokrasi, maka sebelum PP itu diterbitkan, sudah seharusnya pemerintah mengajak berbagai elemen masyarakat untuk berdiskusi.
Ia pun mencontohkan banyaknya aturan yang tak demokratis, seperti saat pemerintah menerbitkan UU No. 3 Tahun 2020 tentang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Kemudian UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, hingga UU 26 Tahun 2023 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
"Jadi kacau sekali klaimnya. Dari awal kita ini melihat banyak aturan-aturan yang diproduksi pemerintah yang bisa kita sebut tidak demokratis. Secara formal masyarakat tidak diajak berdiskusi," kata dia.
Parid selanjutnya juga menyoroti bagaimana pemerintah Joko Widodo pintar memainkan istilah sehingga berpotensi mengaburkan kritik dan pendapat sejumlah orang. Ia menilai pemerintah sengaja memakai istilah scientific pasir hasil sedimentasi agar mendapatkan pengertian dari masyarakat.
Padahal menurutnya pemerintah memukul rata bahwa apa yang berasal dari luar laut dianggap sebagai sedimentasi. Sementara Parid menyebut banyak komponen laut yang dianggap sedimentasi, padahal terbentuk secara alami dan bagian dari laut itu sendiri.
"Jadi sebetulnya tujuan utama ya kepentingan bisnis. Jadi dia punya tujuan bisnis, tapi pakai bahasa scientific untuk justifikasi. Jadi ada politik bahasa yang digunakan untuk mengelabui pikiran kritis masyarakat," jelas Parid.
Lebih lanjut, dalam catatan WALHI, penerbitan PP ini juga merupakan langkah mundur jauh ke belakang dalam konteks perlindungan dan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut Indonesia, termasuk perlindungan wilayah tangkap nelayan yang merupakan produsen pangan laut utama di Indonesia.
Sebab saat ini masyarakat pesisir di Indonesia sedang berhadapan dengan ancaman dampak buruk krisis iklim berupa tenggelamnya desa-desa pesisir, termasuk tenggelamnya pulau-pulau kecil di Indonesia akibat kenaikan air laut. Tren global kenaikan air laut bahkan mencapai 0,8 hingga 1 meter.
Selain itu, sebanyak 115 pulau kecil di perairan dalam Indonesia, dan 83 pulau kecil terluar (terdepan) akan tenggelam akibat kenaikan air laut. Artinya, dengan adanya PP ini ancaman tenggelamnya desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia akan semakin cepat.
"Makanya kalau ini didorong berarti pemerintah mendukung kerusakan lingkungan, dan menghilangkan pekerjaan nelayan," ujarnya.
Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono sebelumnya mengatakan perizinan eksploitasi dan ekspor pasir laut sedimentasi ditentukan tim kajian. Ia mengajak Walhi hingga Greenpeace terlibat dalam tim ini.
Ia menyebut tim kajian ini beranggotakan beberapa unsur antara lain Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), akademisi dan aktivis lingkungan. Tim ini akan memutuskan pasir laut yang akan diekspor itu hasil sedimentasi atau bukan.
"Tim kajian ada unsur KLHK, ESDM, unsur perikanan, BRIN, ada Walhi. Kalau mereka mengatakan ini sedimentasi boleh, baru saya izinkan. Kalau tidak ya enggak," kata Sakti saat konferensi pers di kantornya, Rabu (31/5).
Sakti juga menjelaskan penerbitan PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut dikarenakan banyaknya permintaan reklamasi di dalam negeri termasuk untuk pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
Ia selanjutnya mengklaim sedimentasi pasir setiap tahun di Indonesia terjadi 20 miliar kubik. Sehingga untuk permintaan reklamasi dalam negeri harus menggunakan pasir sedimentasi tersebut.
Adapun presiden Jokowi sebelumnya menerbitkan PP 26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Dalam beleid itu, Jokowi mengizinkan sejumlah pihak untuk mengeruk pasir laut dengan dalih mengendalikan hasil sedimentasi di laut.
Pelaku usaha juga diizinkan untuk memanfaatkan pasir laut untuk beberapa keperluan, termasuk ekspor, sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal itu dimuat dalam Pasal 9 PP tersebut.
Bertalian dengan ekspor dan penjualan pasir laut, dalam Pasal 10, Jokowi mengatur bahwa perusahaan harus mendapatkan izin usaha pertambangan menteri ESDM atau gubernur. Pemanfaatan hasil sedimentasi di laut untuk ekspor juga wajib mendapatkan perizinan berusaha di bidang ekspor dari menteri perdagangan.