LSM Tolak Kawasan Hutan Kaltim Dilepas: Pro Korporasi, Badak Punah

CNN Indonesia
Sabtu, 08 Jul 2023 07:45 WIB
Koalisi Indonesia Memantau menolak rencana pelepasan status kawasan hutan di Kaltim melalui revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Koalisi tolak pelepasan kawan hutan di Kalimantan Timur. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Koalisi Indonesia Memantau menolak rencana pelepasan dan penurunan status kawasan hutan seluas 612.355 hektar di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) melalui revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) lantaran sarat akan kepentingan.

Selain itu, mereka juga menilai revisi RTRW mengabaikan sulitnya situasi agraria dan kelestarian lingkungan yang menghambat agenda reforma agraria sebagai prioritas pembangunan.

"Menolak rencana pelepasan dan penurunan status kawasan hutan seluas 612.355 hektar di Kalimantan Timur melalui RTRW," kata Juru Kampanye Auriga Nusantara Hilman Afif di Kantor Eksekutif Nasional WALHI, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Jumat (7/7).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hilman mengatakan penolakan itu didasarkan pada analisis yang telah dilakukan pihaknya. Ia menjelaskan hasil analisis menyatakan bahwa di atas kawasan hutan yang akan dilepaskan tersebut telah dibebani oleh 156 izin konsesi perusahaan.

Adapun ratusan izin itu terdiri dari sektor pertambangan, monokultur sawit skala besar, dan kebun kayu. Jika melihat tutupan hutan yang ada, kata dia, sebanyak 56 persen dari kawasan hutan yang akan dilepaskan masih berupa hutan alam.

"Tentu hal ini kontradiktif dengan komitmen iklim Indonesia," ujarnya.

Ia merinci dari 156 izin perusahaan itu seluas 138.021 hektar yang masuk dalam usulan pelepasan adalah lahan dengan izin IUPHHK-HT (saat ini PBPH-HT).

Sementara itu, jumlah korporasi yang terdeteksi dalam kawasan tersebut sebanyak 39 perusahaan. Ia menyebut sebesar 98 persen dari total luasan tersebut berupa pelepasan kawasan hutan.

Selain itu, seluas 25.684 hektare masih berupa tutupan hutan alam dan seluas 164.429 hektare telah dibebani oleh 101 IUP pertambangan.

Hilman mengatakan seluas 106.782 hektar atau sekitar 65 persen diusulkan untuk pelepasan status kawasan hutan dan 56.395 hektare atau sekitar 34 persen merupakan penurunan status kawasan dari Hutan Lindung menjadi Hutan Produksi Terbatas.

Kemudian, seluas 100.323 hektare masih berupa tutupan hutan alam. Selain itu, 3.824 hektare telah dibebani oleh 16 izin perkebunan kelapa sawit dan seluruhnya berupa penurunan status Kawasan hutan menjadi APL.

Dengan demikian, terang Hilman, seluas 736.055 hektare hutan yang akan diubah fungsi dan peruntukannya dengan rincian 83,19 persen atau setara 612.355 hektare akan mengalami pelepasan kawasan hutan.

Sebanyak 13,83 persen atau setara 101.788 hektare akan mengalami penurunan status kawasan hutan, dan hanya 2,7 persen atau setara 19.858 hektare yang mengalami peningkatan status kawasan hutan, serta 0,28 persen atau setara 2.054 hektare tidak mengalami perubahan status.

"Analisa di atas menunjukkan bahwa revisi RTRW Kalimantan Timur saat ini syarat akan kepentingan korporasi, sedangkan kepentingan rakyat untuk mendapatkan akses dan kontrol atas sumber-sumber agrarianya justru diabaikan," ucap Hilman.

Koalisi Indonesia Memantau menilai pengabaian tersebut akan memperpanjang malapetaka krisis agraria di Kaltim. Pasalnya, selama lima tahun terakhir terdapat 40 letusan konflik agraria di Kaltim.

Atas hal itu, Kaltim masuk ke dalam lima besar penyumbang letusan konflik agraria pada 2021, luasan konflik agraria pada 2019, dan Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria sepanjang 2018 hingga 2022.

"Konflik agraria telah menyebabkan masyarakat sekitar kehilangan tanah dan kekayaan alam sebagai sandaran untuk kelangsungan hidup, yang berujung pada pemiskinan dan semakin berlapisnya kerentanan yang dialami perempuan," tegasnya.

Lebih jauh, Hilman menyebut tingkat ketimpangan penguasaan tanah di Kaltim sudah mencapai level kronis. Sebab, penguasaan tanah petani kecil yakni kurang dari 0,5 hektar hingga 2,9 hektar, hanya berjumlah kurang lebih 180 ribu hektar.

Hal itu berbanding terbalik dengan penguasaan perusahaan dengan luasan mencapai 11,6 juta hektar.

Menurutnya, ketimpangan itu semakin diperparah dengan janji pemerintah yang selama delapan tahun lebih tak kunjung ditepati.

Pemerintah menjanjikan 4,1 juta hektar pelepasan klaim-klaim kawasan hutan dan atau perubahan kawasan hutan untuk kepentingan penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah bagi rakyat. Namun, hingga kini tidak ada kejelasan dan gagal.

"Pemerintah justru semakin membuka peluang letusan konflik dan jurang ketimpangan penguasaan tanah yang semakin memiskinkan masyarakat," ujar Hilman.

Oleh karena itu, Koalisi Indonesia Memantau yang terdiri dari WALHI, Auriga Nusantara, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Forest Watch Indonesia (FWI), WALHI Kalimantan Timur, dan AMAN Kalimantan Timur mendesak agar Pemerintah Daerah Kaltim menghentikan sementara proses revisi perda RTRW dan membuka ruang keterbukaan serta partisipasi kepada masyarakat sipil.

Mereka juga meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tak menerbitkan izin usaha dan penegakan hukum pada perusahaan yang telah beroperasi secara ilegal, menyelesaikan konflik agraria dalam kawasan hutan, dan redistribusi untuk memberikan kepastian hukum pada masyarakat yang menguasai tanah dalam kawasan hutan.

"Tim Terpadu yang dibentuk oleh KLHK untuk membuka ruang dialog terhadap temuan dari masyarakat sipil dan membuka hasil penilaian dari penelitian perubahan peruntukan dan perubahan fungsi kawasan hutan," pungkasnya.

Orang Utan dan badak cepat punah

Rencana pelepasan dan penurunan status kawasan lewat revisi RTRW juga dinilai mempercepat kepunahan Orang Utan dan Badak Kalimantan yang merupakan spesies kunci.

"Pelepasan dan penurunan status kawasan hutan melalui revisi RTRW ini juga akan mempercepat kepunahan spesies kunci Orang Utan dan Badak Kalimantan," kata Hilman.

Ia mengatakan seluas 467.792 hektare atau 64 persen dari kawasan tersebut adalah habitat Orang Utan yang turut diusulkan dalam pelepasan dan penurunan status kawasan hutan.

Ia merinci seluas 361.839 hektare diusulkan untuk pelepasan kawasan hutan dan 101.788 hektare diusulkan untuk penurunan status kawasan hutan. Padahal, kata dia, seluas 78.507 hektare masih berupa tutupan hutan alam.

Berdasarkan analisis yang dilakukan, ia menyebut seluas 233.517 hektare adalah pelepasan kawasan hutan telah dibebani izin PBPH-HT dan IUP tambang.

"Terdapat habitat badak seluas 78.712 hektare yang masuk dalam objek revisi RTRW Kaltim," ucapnya.

Hilman menjelaskan dari 78.712 hektare ada sekitar 77.806 hektare yang masih bertutupan hutan alam diusulkan untuk penurunan status kawasan dari hutan lindung menjadi hutan produksi terbatas.

Adapun seluas 51.057 hektare telah dibebani izin lima perusahaan tambang yakni PT Ratah Coal, PT Pari Coal, PT Maruwai Coal, PT Lahai Coal dan PT Energi Persada Khatulistiwa.

"Seluruh habitat badak yang di interseksi dengan perusahaan tersebut merupakan 100 persen hutan alam," ujar Hilman.

Ia pun semakin yakin revisi RTRW merupakan modus kejahatan yang mengakomodasi pengampunan kejahatan kehutanan dan pelanggaran tata ruang yang telah dilakukan oleh korporasi.

(lna/dal)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER