AHY mengakui salah satu faktor penting pendorong pertumbuhan ekonomi nasional itu adalah investasi. Menurutnya, investasi ditingkatkan agar tercipta lapangan kerja yang lebih luas dan penerimaan pajak yang lebih besar.
"Untuk itu, iklim investasi harus terus diperbaiki, termasuk kepastian di bidang hukum dan birokrasi," ujarnya.
Dia mengakui pemerintah telah bekerja keras untuk meningkatkan investasi nasional. Tapi, Demokrat mengingatkan, untuk menjaga keseimbangan antara penggunaan modal dalam negeri dan asing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat ini, pelibatan investor asing di usaha energi dan sumber daya mineral, bidang pembangunan infrastruktur, kesehatan, perkebunan dan lain-lain, dinilai terlalu longgar, sehingga dirasakan kurang adil bagi rakyat. Kita harus menjadi tuan rumah di negeri kita sendiri," kata dia.
Dia menyebut partai Demokrat mencemaskan meroketnya jumlah utang Indonesia, baik utang pemerintah maupun utang BUMN. Menurutnya, utang pemerintah dan BUMN harus dihentikan karena terlalu besar.
Menurut AHY, pemerintah tidak bisa hanya berpikir ekonomi jangka pendek dan tidak memikirkan konsekuensi jangka panjang.
"Kita harus belajar, banyak negara gagal akibat utang yang ugal-ugalan," ucapnya.
Akibat utang meroket, kata AHY, ruang fiskal sempit. Per Maret 2023, utang Indonesia mencapai lebih dari 7.800-an triliun rupiah.
"Jika rata-rata bunga utang mencapai 400-an triliun rupiah per-tahunnya, maka itu setara dengan realisasi anggaran pendidikan pada APBN 2022. Itu baru bunga, belum cicilan pokoknya," ujar AHY.
AHY menyampaikan agenda perubahan yang ditawarkan Demokrat terkait hal tersebut yaitu memilih dan memprioritaskan infrastruktur apa yang diperlukan dengan tahapan yang rasional.
"Lalu, pastikan pembiayaan tersedia, baik dari APBN maupun non APBN. Kerangka pembiayaan bersama atau pembiayaan penuh dari swasta, juga sebuah pilihan," ucap dia.
"Jika harus berutang, utang itu bukanlah komponen paling besar. Ukur kemampuan keuangan kita. Jangan besar pasak daripada tiang," imbuhnya.
AHY mengungkapkan kondisi dunia kini tengah mengalami krisis lingkungan. AHY berpendapat semua pihak harus menyelamatkan bumi dan lingkungan yang semakin terancam oleh krisis iklim.
"Indonesia tidak kebal, karena bangsa kita juga hidup di bumi yang sama. Kita makin merasakan dampak buruk dari perubahan iklim ini," ucap AHY.
"Terjadi berbagai bencana alam, polusi udara dan pemanasan global, yang berdampak buruk pada kualitas tanah untuk pertanian dan perkebunan," lanjutnya.
Indonesia berkomitmen untuk mencapai Net-Zero emission, maksimal pada tahun 2060. Dia berharap itu bisa diwujudkan.
"Namun, mencermati proses yang berjalan saat ini, target waktu tersebut sulit dipenuhi," tuturnya.
"Climate Action perlu diperluas dan dipercepat, untuk mencapai Net Zero Commitment. Termasuk mempercepat dekarbonisasi, dan transisi energi terbarukan. Negara harus hadir," imbuhnya.
AHY menyebut pemerintah pusat dan daerah harus konsisten menjalankan kebijakan yang pro lingkungan. Dia mengatakan jangan ada lagi Undang-Undang yang seolah memfasilitasi terjadinya kerusakan alam.
"Kalau tidak bisa dihentikan, terus kurangi secara signifikan laju deforestasi. Jutaan hektar hutan yang telah dibabat untuk proyek-proyek Food Estate, yang ternyata juga gagal, adalah contoh yang tidak baik," jelasnya.
Di luar itu, AHY berpendapat Kementerian Lingkungan Hidup yang kini disatukan dengan Kementerian Kehutanan, harus dikembalikan sebagai kementerian yang berdiri sendiri.
"Mengurangi otoritas dan anggaran Kementerian Lingkungan hidup, adalah sebuah sinyal yang keliru," tuturnya.
AHY menilai telah terjadi kemunduran demokrasi secara fundamental di Indonesia. Salah satunya ditandai dengan lawan politik penguasa, diidentikkan sebagai musuh negara.
"Netralitas dan independensi kekuasaan negara, dipertanyakan," tuturnya.
Dia mengingatkan jangan terulang prahara besar, seperti tahun 1965-1966; dan tahun 1998-1999 dulu.
"Jangan kita lukai perasaan rakyat, agar mereka tidak menempuh caranya sendiri, dalam memperjuangkan keadilan dan hak politiknya," ucapnya.
(yla/tsa)