Bakal calon presiden (Bacapres) dari PDI Perjuangan Ganjar Pranowo menjadikan kemeja garis hitam putih vertikal sebagai pakaian khusus sekaligus identitas yang akan dikenakan selama kontestasi Pilpres 2024.
Ganjar menyebut garis hitam putih itu merupakan representasi dari pesan Presiden Jokowi soal keberanian.
"Hitam putih adalah keberanian. Hitam putih adalah sikap untuk tidak menjadi abu-abu. Sebuah keputusan untuk berkata ya atau tidak," ujarnya Rabu (19/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Esa Unggul M Jamiluddin Ritonga menilai pemilihan motif tersebut merupakan salah satu upaya Ganjar untuk membangun citra di masyarakat.
Berdasarkan arti warnanya, ia menyebut secara umum hitam kerap dikaitkan dengan simbol penantang, penuh misteri ataupun hal buruk. Di sisi lain, warna putih dinilai identik dengan kesan suci, kebaikan hingga kepolosan.
"Jadi secara umum, hitam-putih dapat dimaknai sebagai menghargai perbedaan, saling melengkapi dan memahami ada sisi baik dan buruk dalam diri," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Jumat (21/7).
Di sisi lain, Jamiluddin menilai motif kemeja tersebut juga memungkinkan memiliki makna lain apabila benar-benar dipilihkan secara langsung oleh Jokowi untuk Ganjar.
"Itu makna umum, tapi karena ini identitas dari Jokowi tentu kita mafhum beliau selalu melihat dari kacamata budaya Jawa," tuturnya.
Ia menuturkan dalam budaya Jawa, warna hitam kerap kali dilambangkan sebagai simbol kebijaksanaan, kesetaraan, hingga keberanian.
Sementara untuk warna putih mengartikan kebersihan, kesucian, kejujuran, pemaaf, dan cinta. Nilai-nilai tersebut, kata dia, erat kaitannya dengan sifat religius atau spiritual.
"Jadi makna hitam putih dalam konteks masyarakat Jawa, tentu ingin menggambarkan adanya kebijaksanaan dan kesetaraan, baik dalam kejujuran dan maupun dalam kesucian," jelasnya.
![]() |
Pakar Semiotika dari Institut Teknologi Bandung Acep Iwan Saidi memandang pemilihan motif kemeja hitam putih memiliki makna yang positif.
Ia menjelaskan kedua warna tersebut merupakan padanan warna konvensional yang memiliki kiasan dari ketegasan sifat dan sikap bahwa kalau tidak hitam, maka putih.
Hanya saja, karena warna tersebut merupakan konvensi lama, ia menilai idiom hitam putih di era masa kini menjadi sangat klise dan tak ubahnya sebagai metafora yang mati.
"Karena ia merupakan konvensi lama, idiom hitam putih kini menjadi klise. Ia menjadi semacam metafora mati. Dihubungkan dengan kreativitas, warna hitam-putih bisa menjadi penanda indeksikal yang merujuk kepada ketidakkreatifan," jelasnya.
Lebih lanjut, Acep menilai warna 'mati' tersebut tidak akan mampu menarik banyak peminat dari generasi milenial yang menjadi kelompok pemilih terbanyak.
Ia menjelaskan selama ini padanan warna hitam-putih dalam pakaian kerap diasosiasikan sebagai seragam resmi yang kaku dan digunakan oleh lembaga pemerintahan.
"Dengan begitu, warna hitam putih kini menjadi seperti kehilangan konteks. Sebagai kostum, hanya komunitas atau lembaga tertentu yang memakainya. Itu pun jumlahnya sangat sedikit. Kostum ini terlalu kaku. Tidak punya daya terobos," ujarnya.
Iwan lantas membandingkan seragam kampanye Ganjar dengan saat Jokowi pada Pemilu 2014 kemarin. Menurutnya, pemilihan baju kotak-kotak yang digunakan Jokowi jauh menimbulkan 'efek kejut' yang luar biasa di masyarakat.
"Secara semiotika, ia menjadi tanda indeksikal yang merujuk kepada jiwa yang dinamis dan memiliki aura progresivitas, sekaligus juga mewadahi pikiran yang 'abduction'," tuturnya.
Iwan juga mengaku menyayangkan langkah Ganjar yang memutuskan menggunakan padanan warna hitam-putih sebagai kostum kampanye. Menurutnya, pakaian tersebut bukan tidak mungkin akhirnya kurang dilirik publik dan justru menjadi bumerang politik.
Ia juga lantas menyoroti sikap Ganjar yang seakan menekankan apabila pakaian tersebut merupakan rekomendasi atau pilihan langsung dari Jokowi.
Pasalnya menurut Iwan, saat ini Jokowi justru dinilai belum sepenuhnya memberikan dukungan terhadap Ganjar. Dalam beberapa kesempatan, Jokowi malah dianggap memberikan dukungan kepada rivalnya yakni Prabowo Subianto.
"Jika sikap Jokowi ini makin kentara atau diwacanakan terus oleh rival Ganjar, kostum tadi akan semakin redup. Alih-alih mendulang suara, kostum hitam putih malah bisa jadi akan menggiring Ganjar ke ruang hampa," pungkasnya.
Senada, Jamiluddin menilai penggunaan kemeja garis hitam putih vertikal itu belum tentu akan mengulang kesuksesan kemeja kotak ala Jokowi pada Pemilu 2014.
Pasalnya ia mengingatkan elektabilitas Jokowi saat itu memang sudah stabil dan cukup tinggi terlepas dari politik kemeja kotak-kotak. Kondisi tersebut dinilai cukup berbeda dengan elektabilitas Ganjar yang pasca pengumuman sebagai Bacapres PDIP masih belum terlalu banyak berubah.
"Jadi Ganjar kalaupun menggunakan warna hitam-putih yang dalam budaya jawa menggambarkan suci, bijaksana, itu tidak otomatis akan meningkatkan elektabilitas," jelasnya.
Karenanya, Jamiluddin menilai penggunaan kemeja garis hitam putih vertikal tersebut murni hanya untuk meningkatkan citra Ganjar di tengah masyarakat semata.
"Elektabilitas ganjar akan ditentukan lewat kapasitasnya, apakah mampu menggaet segmen Gen Z atau Milenial yang jumlahnya sangat besar. Saya tidak melihat warna hitam putih itu menarik untuk meningkatkan elektabilitas," imbuhnya.
Berlanjut ke halaman berikutnya...