Saran Pakar soal Status Tersangka Kabasarnas Buntut KPK Minta Maaf

CNN Indonesia
Sabtu, 29 Jul 2023 07:20 WIB
Pakar hukum merespons sikap tak kompak KPK karena minta maaf setelah menetapkan Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi.
Ilustrasi. KPK minta maaf ke TNI soal kasus Kabasarnas. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia --

Pakar Ilmu Perundang-undangan Aan Eko Widiarto menilai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak kompak karena minta maaf setelah menetapkan Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi Basarnas Letkol Adm Afri Budi sebagai tersangka kasus suap.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya itu menyoroti pernyataan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat penetapan tersangka Henri dan Afri pada Rabu (26/7).

Berselang dua hari, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyatakan khilaf dan meminta maaf kepada rombongan petinggi TNI karena ada kekeliruan dalam koordinasi penetapan tersangka.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Antar pimpinan KPK tidak kompak. Pak Alex dan Pak Tanak beda. Ini yang disesalkan," ujar Aan kepada CNNIndonesia.com, Jumat (28/7).

Kendati demikian, Aan menegaskan KPK sudah tepat menggunakan Pasal 42 Undang-Undang (UU) Tipikor dalam perkara ini. UU tersebut dinilai lebih baru ketimbang UU tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Selain itu, Aan juga menyoroti titik berat kerugian yang diatur dalam Pasal 91 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dia menilai kerugian di kasus yang melibatkan Kabasarnas sebagai TNI aktif lebih kepada kepentingan umum, sehingga mestinya diproses di pengadilan umum.

"Bila yang dirugikan oleh anggota TNI adalah kepentingan umum maka seharusnya diadili di peradilan umum, dan sebaliknya. Dalam perkara ini Basarnas lembaga non organik TNI dan perkaranya soal pengadaan barang bukan alutsista tapi deteksi korban," jelas Aan.

Namun demikian, Aan menyebut dasar hukum yang digunakan Tanak masih sumir lantaran hanya menyebutkan empat lingkungan peradilan dan langsung disimpulkan bila peradilan militer mengadili militer. Menurut Aan, Tanak tidak melihat ketentuan koneksitas sebagaimana diatur KUHAP.

Lebih lanjut, Aan mendorong lembaga antirasuah untuk berkomunikasi dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto jika bersinggungan dengan kasus yang melibatkan anggota TNI aktif. Hal itu merujuk pada Pasal 89 ayat 1 KUHAP, yang berbunyi:

1. Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk Iingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam Iingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

"Agar masyarakat tidak bingung dalam hal ini, perlu ada komunikasi antara KPK dan Panglima. Kalau dalam bahasanya KUHAP itu bahkan Menteri Pertahanan yang seharusnya berkomunikasi, Menteri Pertahanan dan Menteri Kehakiman," katanya.

"Ini karena Undang-Undang masa lalu, kalau sekarang Menteri Kehakiman sudah tidak ada. Kalau sekarang ya seharusnya Menhan karena atasan dari Panglima dengan KPK sebagai lembaga negara," tambah dia.

Diserahkan ke TNI

Aan turut menyinggung status tersangka Henri dan Afri usai KPK mengaku khilaf. Menuruti dia, lembaga pimpinan Firli Bahuri itu mesti mencabut status tersangka yang telah disematkan sebelumnya.

"Kalau mengakui khilaf karena tidak berwenang maka KPK harus mencabut status yang sudah ditetapkan. Kemudian seharusnya POM segera memproses hukum sesuai hukum militer. Kalau KPK mau koneksitas maka seperti yang saya sarankan tadi adalah bertemu dengan Menhan," katanya.

KPK sebelumnya menyatakan khilaf dan meminta maaf kepada rombongan petinggi TNI karena ada kekeliruan dalam koordinasi penetapan tersangka Henri dan Afri dalam perkara ini. Kasus ini berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK.

Rombongan petinggi TNI yang dipimpin Danpuspom TNI Marsda Agung Handoko menyambangi Gedung Merah Putih KPK, Jumat (28/7) untuk mengkoordinasikan terkait kasus dugaan tindak pidana di lingkungan Basarnas tersebut.

"Di sini ada kekeliruan, kekhilafan dari tim kami yang melakukan penangkapan. Oleh karena itu, kami dalam rapat tadi sudah menyampaikan kepada teman-teman TNI kiranya dapat disampaikan kepada Panglima TNI dan jajaran TNI," terang Johanis Tanak usai pertemuan dengan petinggi TNI itu di kantornya, Jakarta Selatan.

"Atas kekhilafan ini kami mohon dimaafkan," tambah dia.

Johanis membeberkan dalam pelaksanaan OTT pada awal pekan ini, tim penyidik KPK menemukan dan mengetahui dugaan keterlibatan anggota TNI yang berdinas di lingkungan Basarnas.

"Dan kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, kelupaan, bahwasannya manakala ada keterlibatan TNI harus diserahkan kepada TNI, bukan kita yang tangani," katanya.

Johanis mengatakan hal itu merujuk pada Pasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman ada 4 peradilan yakni umum, militer, tata usaha negara (TUN), dan agama. Dia juga memastikan penanganan kasus tersebut tetap dilanjutkan secara koneksitas antara KPK dan POM TNI.

(pop/dal)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER