Jakarta, CNN Indonesia --
Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri menyebut terjadi penyimpangan sejarah di balik Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang berujung pada peralihan kekuasaan dari Sukarno kepada Soeharto.
"Mengapa, ketika zaman Pak Harto, saya dengan segala hormat saya, atau zaman Orde Baru, mengapa kita melihat itu bahwa penyimpangan sejarah sebenarnya," kata Megawati dalam acara peresmian Patung Bung Karno di Omah Petroek, Sleman, DIY, Rabu (23/8).
Megawati bercerita sempat diundang dalam acara di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Saat itu, ia mengajak semua pihak untuk berpikir secara objektif terkait rangkaian peristiwa Supersemar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Gampangnya, saya di Lemhannas mengatakan begini, kalian mbok mikir, peristiwa itu jangan lihat saya anaknya (Sukarno), tapi berpikir lah logic dan objektif," katanya.
Sejarawan Asvi Warman Adam membenarkan pernyataan Megawati bahwa Supersemar sebagai penyimpangan sejarah.
Asvi mengatakan Soeharto yang kala itu menjabat Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban menyalahgunakan Supersemar untuk merebut kekuasaan Presiden Sukarno.
"Betul, Supersemar itu penyimpangan sejarah. Secara normal penggantian kekuasaan melalui pemilu. Soeharto menyalahgunakan Supersemar untuk mendapatkan kekuasaan," ujar Asvi kepada CNNIndonesia.com, Jumat (25/8).
Asvi menyebut Supersemar betul-betul ada dan bukan surat fiktif. Menurutnya, surat itu diketik dan diserahkan oleh Sukarno kepada tiga orang jenderal untuk disampaikan ke Soeharto.
"Ya adalah (Supersemar). Ada yang mengetik, ada Sukarno yang menandatangani. Ada yang membawa dari Sukarno di Bogor ke Jakarta," katanya.
Asvi mengungkap Supersemar asli yang diberikan kepada Soeharto hanya berisi perintah untuk menertibkan situasi selepas peristiwa Gerakan 30 September pada 1965.
Ia tak yakin ada yang bisa mengubah naskah Supersemar terlegalisir. Akan tetapi, Asvi meyakini Supersemar dipelintir atau ditafsir secara berbeda oleh Soeharto untuk mendapatkan kekuasaan
"Karena Soeharto mau mengambil kekuasaan. Menafsir perintah secara berbeda," katanya.
Terkait pertimbangan menjatuhkan Sukarno karena dinilai bekerja sama dengan PKI, Asvi menepis klaim tersebut. Menurutnya, Sukarno tak mungkin membantu para pihak yang ingin mengambil alih kekuasaannya.
"Tidak masuk akal bila Sukarno membantu gerakan yang mencoba merebut kekuasaan darinya," ujarnya.
Kontroversi Supersemar di halaman selanjutnya...
Sejarawan dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta F.X. Baskara Tulus Wardaya mengatakan Supersemar telah menimbulkan pelbagai kontroversi.
Mulai dari perbedaan pemberi perintah dan pelaksananya, naskah asli belum ditemukan, hingga adanya keterlibatan pihak barat dalam situasi politik Indonesia kala itu.
Baskara menjelaskan Supersemar yang dikeluarkan oleh Presiden Sukarno kepada Soeharto awalnya bertujuan untuk melaksanakan tugas menjamin ketertiban dan keamanan negara usai G30S 1965 dan maraknya aksi mahasiswa yang menuntut Tritura.
Namun, kata Baskara, lama kelamaan Supersemar dijadikan dalih oleh Soeharto untuk mengambil kekuasaan dari Sukarno.
"Yang jelas surat itu jadi dalih untuk ambil kekuasaan oleh Soeharto waktu itu yang nanti pada tahun 1967 jadi presiden," kata Baskara kepada CNNIndonesia.com, Jumat (25/8).
Baskara menyebut Sukarno pada pidato kenegaraan di Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-21 RI pada 17 Agustus 1966 sempat membantah anggapan Supersemar adalah surat penyerahan pemerintahan.
Bagi Sukarno, Supersemar hanya perintah pengamanan jalannya pemerintahan. Menurutnya, Soeharto yang menjadikan surat tersebut sebagai legitimasi untuk mengambil kekuasaan dari Sukarno.
"Dalam prosesnya itu jadi alat transfer kekuasaan secara bertahap dari presiden Sukarno ke presiden Suharto. Itu dipakai untuk menjustifikasi kekuasaan Jendral Soeharto lama-lama ambil kekuasaan," ujarnya.
Baskara menjelaskan pengambilalihan kekuasaan oleh Soeharto kala itu tak lepas dari konteks negara-negara Barat yang ingin ada pergantian kekuasaan di Indonesia.
[Gambas:Infografis CNN]
Sehingga, kata Baskara, tekanan dari Barat itu yang membuat para aktor-aktor politik di dalam negeri percaya diri untuk mengambilalih kekuasaan dari Sukarno.
"Ada upaya dinamika dalam negeri, tapi itu juga ada kehendak beberapa negara lain di Barat. Ini saya sebut karena dukungan Barat, orang di dalam negeri ingin ambil kekuasaan di dalam negeri jadi percaya diri," katanya.
Di sisi lain, Baskara mengatakan naskah asli Supersemar masih menjadi misteri dalam historiografi Indonesia. Ia mengatakan naskah asli tersebut hilang atau dihilangkan sehingga menjadi misteri sampai saat ini.
"Kemudian kita tau juga satu sisi surat itu hilang. Tapi di sisi lain ada copy surat itu yang bermunculan. Ini kan ada semacam ketidakjelasan dari surat itu," katanya.
Anak Soeharto, Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto pernah merespons terkait kontroversi Supersemar ini. Menurutnya, surat perintah dari Sukarno itu menjadi pegangan Soeharto menertibkan kondisi saat itu.
"Saya rasa itu tuntutan pada masa itu. Anda boleh tanya ke saksi-saksi sejarah waktu itu. Mahasiswa waktu itu menuntut pembubaran PKI dan menertibkan keamanan negara ini. Dengan surat itu, Pak Harto punya pegangan untuk menertibkan (negara)," kata Titiek pada beberapa tahun silam, dikutip dari detikcom.
Titiek heran mengapa saat ini banyak orang yang mengungkit-ungkit lagi soal Supersemar. Menurutnya, sudah bukan saatnya lagi menengok ke belakang.
"Padahal Pak Harto sudah memberikan kebaikan. Ngapain lihat ke belakang, kenapa enggak lihat ke depan. Kenapa diungkit-ungkit?. Kita mau mundur atau mau maju?" ucapnya.