Edi Mulyono sudah menduga akan ada banyak orang yang keheranan jika warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta jadi menggugat perusahaan raksasa di negeri orang terkait krisis iklim.
Seperti perang liliput melawan Goliat. Namun, warga Pulau Pari tetap melanjutkan rencananya.
Edi dan tiga orang lainnya mewakili warga Pulau Pari menggugat Holcim Limited ke pengadilan Swiss pada Selasa, 31 Januari 2023. Gugatan itu resmi dilayangkan lantaran mediasi warga Pulau Pari dengan Holcim gagal tanpa ada kesepakatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Holcim, menurut warga Pulau Pari, mesti bertanggung-jawab atas krisis iklim yang kini merongrong hidup mereka secara nyata. Holcim sebagai produsen semen terbesar di dunia, adalah salah satu penyumbang emisi terbesar.
Edi dan warga Pulau Pari sendiri mengaku punya alasan yang terang benderang ihwal gugatan mereka. Menurut Edi, sejak tahun 2000, warga Pulau Pari yang bekerja sebagai nelayan makin kesulitan mendapat ikan. Cuaca tak menentu.
Warga mengaku tak bisa lagi memprediksi waktu yang tepat untuk melaut. Selain itu, tangkapan ikan juga berkurang. Jenis-jenis ikan juga semakin sedikit.
Imbasnya, penghasilan yang dia dapat juga berkurang. Semula dia bisa mengantongi Rp3,5 juta dalam sebulan, tapi kini hanya Rp1 juta dari hasil melaut itu. Paling banyak sekitar Rp2 juta-an.
Padahal, secara turun temurun warga Pulau Pari bekerja sebagai nelayan dan mengandalkan kehidupannya ke laut.
"Alam yang katanya sahabat nelayan sekarang sudah enggak lagi. Alam sudah tidak bisa diprediksi," ujarnya.
Boby alias Mustaghfirin, orang yang ditokohkan di Pulau Pari, mengamini pernyataan Edi. Dia bercerita, demi memahami tabiat laut, dia sempat membuat catatan sendiri berisi kondisi cuaca, angin, dan gelombang secara rutin.
Sebab, pola yang selama ini dia pegang sebagai nelayan tak bisa lagi dipakai. Namun, setelah dua tahun lebih dia "mencatat laut", dia tetap tak menemukan pola yang jelas. Semua serba tak terprediksi.
Saat ditemui pada 4 Agustus 2023, Boby baru saja merasakan ketakramahan laut yang dulunya bersahabat. Dia sedang sakit meriang, setelah semalaman berjuang menyelamatkan diri karena perahu yang dibawanya terguling di tengah laut oleh angin dan gelombang yang tiba-tiba tak bersahabat.
"Masih greges tubuh saya," kata Bobby. Meski begitu, dia tetap bersemangat menceritakan betapa krisis iklim membuat ekonomi warga di Pulau Pari terancam.
Dia mula-mula menarik mundur waktu ke 2010. Pada tahun ini, ujarnya, budidaya rumput laut di Pulau Pari ambruk. Padahal, sejak 1980-an mayoritas warga Pulau Pari berpenghasilan dari budidaya rumput laut.
"Bahkan, rumah warga kebanyakan di Pulau Pari dibangun pada 1990-an, tahun-tahun masa jaya Pulau Pari sebagai produsen rumput laut," kata Bobby. Maklumlah, antara 1990-2000an, warga Pulau Pari bisa mengantongi pendapatan sampai Rp7 juta dari budidaya tersebut.
Kini, warga masih terus membudidayakan rumput laut, tapi tumbuhan itu kebanyakan umurnya tak lama. Warga menduga air laut di sekitar Pulau Pari sudah berubah.
Sejak itu, warga Pulau Pari mulai berpindah-pindah profesi demi bertahan hidup. Di antaranya di bidang pariwisata, termasuk Edi dan Bobby. Warga mulai menyewakan rumah mereka untuk homestay, membuka warung sampai menjadi pemandu wisata.
Pendapatan dari wisatawan memang tak kalah lumayan, apalagi pada masa libur panjang atau akhir pekan biasa. Jumlah wisatawan yang masuk pada akhir pekan biasa ke Pulau Pari bisa lebih dari 3.000 orang per hari.
Meskipun begitu, jika dibandingkan dengan budidaya rumput laut dan melaut, keuntungannya masih lebih sedikit. Edi mengatakan pendapatan dari menyewakan homestay dan pemandu wisata rata-rata Rp1,4 juta per bulan.
Sialnya lagi, mencari penghidupan dari wisatawan tak selalu berjalan mulus. Banjir rob makin sering terjadi di Pulau Pari, paling tidak lima tahun terakhir. Jumlah kejadiannya bisa sampai belasan kali dalam sebulan.
Jika sudah begitu, Edi, Boby dan warga Pulau Pari lainnya hanya bisa gigit jari. Sebab, wisatawan tak ada yang akan datang, orang yang sudah bayar untuk homestay membatalkan pesanannya.
Pada 2018, Pulau Pari diterjang banjir rob yang terparah. Tiga pantai indah di Pulau Pari, Pantai Bintang, Pasir Perawan dan Rengge terendam. Beberapa pohon tumbang. Air laut melintas dari bibir pantai satu ke bibir pantai lainnya yang berseberangan.
![]() warga Pulau Pari gugat holcim ke pengadilan Swiss |
Rob bukan hanya menjegal wisatawan datang, melainkan juga membuat warga Pulau Pari kesulitan mendapat air minum, karena sumur terkontaminasi air laut.
"Masuk ke tahun 2000-an itu kita sampai beli air, karena air tanahnya sudah terkontaminasi. Pada 2018 lalu, hampir dua RT itu sumurnya jangankan untuk minum, untuk mandi juga enggak bisa dipakai," ujar Edi.
"Kita sudah gali lagi sumurnya, tapi ya itu rasanya sudah asin karena sudah terkontaminasi. Kecuali kalau banyak hujan, itu airnya bakal tawar. Tapi kalau hujan suka dibarengi dengan banjir rob. Makanya ya curah hujan tinggi itu tetap aja air sumur asin karena kena rob airnya masuk," lanjutnya.
Edi, yang tinggal di RT 2 RW 04, mengaku masih bisa menggunakan air sumur untuk mandi dan mencuci piring. Namun untuk minum dia harus membeli dari air hasil desalinasi dengan alat Brackish Water Reverse Osmosis (BWRO).
Tarif untuk membeli air desalinasi itu masih terjangkau, tapi dia juga masih tak nyaman jika dipakai untuk dikonsumsi. Menurutnya air itu masih terasa payau.
"Agak enggak enak, dibanding air kemasan. Air RO aja kita beli Rp2000, enggak ada yang gratis. Kita beli per-galon atau jerigen (30 liter) itu Rp2000. Saya jarang beli air RO, tapi kalau galon juga bisa Rp27.000," keluhnya.
Di RT 04 RW 04, kata Edi, keadaannya lebih memprihatinkan. Warga harus beli air desalinasi untuk mandi juga.
Berdasarkan hasil tes kualitas air yang dilakukan CNNIndonesia.com di salah satu lab swasta menunjukan tingkat salinasi air melewati batas baku mutu.
Hasil lab menunjukkan tingkat salinitas di RT 04 RW 04 Pulau Pari 4,9 part per thousand (ppt). Angka itu melebihi batas mutu air minum yakni 0,02 ppt. Hal itu mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.492/MENKES/PER/IV/2010.
Jika ke Pulau Pari, selain pemandangan pantai yang indah, puluhan jeriken di sekitar rumah warga juga banyak tersaji di mana-mana. Terutama, rumah-rumah warga di dekat pantai.
Lalu, mengapa warga Pulau Pari menyatakan perang terhadap Holcim?
Edi mengatakan, warga Pulau Pari sepakat bahwa penyebab utama hilangnya mata pencaharian, raibnya air bersih, dan bahkan ancaman lenyapnya Pulau Pari dari peta adalah krisis iklim.
Karena krisis ini tak membeda-bedakan pulau, Edi mengatakan gugatan itu bukan hanya untuk warga Pulau Pari, melainkan semua warga yang tinggal di pulau-pulau kecil. Pulau-pulau yang paling terdampak krisis iklim.
"Kita di sini korban, bukan cuma masyarakat Pulau Pari, kami mewakili masyarakat pesisir. Kami mewakili seluruh masyarakat pulau kecil di seluruh dunia," ucapnya.
Lihat Juga :![]() KRISIS IKLIM Cuap-cuap Manis saat Krisis Iklim Makin Menggila |
"Pulau Seribu saja sudah ada 9 pulau yang tenggelam. Itu ada Pulau Karangjong yang cuma tinggal sejarah saja. Itu udah terkikis, 20 meter dari bibir pantai itu dulu pulau, sekarang laut semua, itu tahun 2000 masih pulau," lanjut dia.
Berdasarkan catatan Walhi Jakarta, daratan Pulau Pari sendiri telah menyusut 11 persen dari total luasan awal sekitar 43,2 hektare. Berdasarkan riset Walhi Jakarta dan beberapa organisasi lingkungan lain, sebagian besar daratan pulau diprediksi akan terendam pada 2050.
Mengacu pada riset Taslim Arifin dkk yang diterbitkan oleh IPB Press (2014), hasil pengamatan di lapangan selama 2004 hingga 2010 menunjukkan permukaan air laut di Muara Baru, Teluk Jakarta, mengalami kenaikan hampir 10 cm.
Oleh sebab itu, Edi dan Bobby secara sukarela menjadi perwakilan untuk menggugat Holcim, salah satu yang menurut mereka menjadi penyebab krisis iklim dan kenaikan muka air laut hingga terjadi rob yang intens.