Pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin berpendapat rusaknya reputasi MK dan KPK tidak lepas dari proses politik di DPR.
Menurutnya, ada kemungkinan terjadi kesepakatan tertentu saat pengusulan Hakim MK dan pemilihan Komisioner KPK yang dilakukan di Komisi III DPR.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada kesepakatan-kesepakatan tertentu agar para anggota DPR dan parpol aman. Baik dalam konteks tidak terjerat KPK maupun konteks misalkan bisa ada akses khusus kepada hakim-hakim MK," kata Ujang.
Ia mengatakan dengan adanya kemungkinan kesepakatan tertentu, maka anggota DPR tidak mempertimbangkan sosok yang bisa menguatkan lembaga saat memilih Hakim MK maupun Komisioner KPK.
"Ini lah, ketika partai politik belum bersih,maka lembaga lain yang diproses oleh partai politik menjadi masalah," kata Ujang.
Aan Widiarto mengatakan salah satu cara untuk mengembalikan muruah dua lembaga itu adalah dengan kembali kepada tugas dan fungsi masing-masing.
KPK harus menangani kasus korupsi tanpa tebang pilih. Menurutnya, muruah KPK akan kembali jika konsisten melakukan itu.
"Jangan kelompok sana korupsi diproses, yang sini korupsi enggak diproses. Ini yang menyebabkan muruah hilang. Muruah itu akan kembali kalau dia konsisten, kembali kepada khittahnya," kata Aan.
Pun begitu dengan MK, menurutnya, lembaga itu harus kembali pada tugas dan fungsinya sebagai penjaga dan penafsir konstitusi.
"Maka dia tidak akan melihat, ini urusannya siapa, ini kepentingan siapa. Entah itu kepentingan pemerintah, kalau bertentangan dengan konstitusi, ya dilibas, dinyatakan bertentangan dengan konstitusi," ujarnya.
Lihat Juga : |
Selain itu, Aan berpendapat perlunya penguatan alat kontrol dua lembaga tersebut. KPK dengan Dewas, dan MK dengan MKMK. Khusus MK, ia mendorong agar dibentuk MKMK permanen, bukan adhoc.
"Kalau mau kuat, namanya etik, itu sangat mungkin terjadi day to day. Kalau adhoc, nunggu pengaduan, bagaimana dia bisa mengedukasi hakim, bisa membuat hakim ingat. Kalau enggak ada MKMK karena nunggu pengaduan, hakim kan bisa sembrono, wah ini tidak ada yang mengawasi," kata Aan.
Di tengah polemik di tubuh MK dan KPK, pimpinan kedua lembaga itu telah menyampaikan perlawanan balik.
Anwar Usman melancarkan serangan balik usai dirinya dinyatakan terbukti melanggar etik berat dan dicopot dari jabatan ketua MK. Dia menilai ada upaya politisasi dan pembunuhan karakter terhadapnya terkait putusan MKMK.
"Sesungguhnya saya mengetahui dan telah mendapat kabar upaya melakukan politisasi dan menjadikan saya objek dalam berbagai putusan Mahkamah Konstitusi dan putusan MK terakhir maupun pembentukan MKMK, saya telah mendengar jauh sebelum MKMK terbentuk," kata Anwar dalam konferensi pers di Gedung MK, Rabu (8/11).
Dia merasa difitnah dalam menangani perkara nomor 90 terkait batas usia cawapres. "Fitnah yang sangat keji dan tidak berdasar atas hukum dan fakta," katanya.
Sementara Firli Bahuri sempat menyinggung serangan balik dari koruptor. Dia menyebut serangan itu muncul ketika KPK tengah melakukan upaya pemberantasan korupsi.
"Kita juga pernah mengenal seketika kita tegas dalam rangka penegakan hukum pemberantasan korupsi, tentu akan datang yang kita sebut dengan when the corruptor strike back, ketika para koruptor melakukan serangan balik kepada KPK," katanya.
"Dan itu tidak akan pernah berhenti sampai kapan pun sampai KPK betul-betul bisa membersihkan negeri ini dari praktik-praktik korupsi," sambung Firli.
(pmg/yoa/pmg)