Keluh Kesah Warga Sabang soal Penanganan Rohingya: Minim yang Urusi
Abdullah alias Wak Dollah geram terhadap penanganan pengungsi Rohingya yang dilakukan oleh lembaga PBB seperti UNHCR dan IOM. Menurutnya, lembaga tersebut abai hingga hari ini.
"Coba lihat ada tidak orang UNHCR di situ (lokasi pengungsi) atau siapalah yang jaga, coba lihat ada gak?," kata Wak Dollah mengawali wawancara dengan CNNIndonesia.com, Jumat malam (8/12) di depan pintu masuk Dermaga CT 1 Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS).
Wak Dollah merupakan sosok tetua di wilayah Kecamatan Suka Karya, Sabang. Dia ikut serta dalam aksi warga menolak pengungsi Rohingya yang pecah pada Rabu (6/12).
Bukan tanpa alasan; warga menolak pengungsi rohingya karena memiliki sifat yang tak menghargai penduduk lokal dan berperilaku buruk.
Tabiat buruk itu misalnya terlihat saat pengungsi rohingya pada gelombang pertama dipindahkan ke Lhokseumawe. Saat menaiki kapal penumpang menuju Banda Aceh dari Sabang, banyak kotoran yang ditinggalkan di kapal.
Puncak kemarahan warga berlanjut saat aroma bau yang menyebar dari lokasi penampungan Dermaga CT 1 Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) ke lokasi objek wisata Tugu Merah Putih dan pusat kuliner yang lokasinya memang bersebelahan, hanya dibatasi tembok saja.
Bau itu berasal dari pengungsi Rohingya yang suka buang air besar sembarangan di lokasi penampungan. Namun, kini sudah disediakan 6 unit toilet portable dan dua tangki air.
"Lokasi ini kan objek wisata dan kuliner, jadi selain warga, wisatawan ke sini itu juga jadi risih, karena bau tadi,"katanya.
"Apalagi ini mau libur natal dan tahun baru, dipastikan wisatawan itu banyak," ujar Wak Dollah.
Selain Wak Dollah, seorang warga sekitar, Rizal juga mengungkapkan hal yang sama. Menurutnya dari awal dirinya tetap menolak keras kedatangan Rohingya.
Rizal menyamakan status pengungsi Rohingya di Malaysia dengan di Aceh. Jika terlalu lama tinggal di Tanah Rencong, kata dia, orang Rohingya ia duga akan menguasai tanah di Sabang.
Ia mendapat informasi itu dari media sosial yang beredar. Di mana warga Rohingya di Malaysia melakukan demo untuk meminta hak tanah.
"Di sana (Malaysia) karena mereka banyak. Kalau di sini jangan sampai, makanya yang sedikit ini kita usir jangan malah bertambah jumlahnya," ucap Rizal.
Rizal turut menyinggung aktivitas pengungsi Rohingya di penampungan yang hanya makan dan tidur. Sementara di satu sisi warga di Sabang masih ada yang butuh perhatian.
Berbeda dengan Aminuddin, warga Desa Cot Bak U, Kecamatan Sukajaya justru merasa prihatin dengan kondisi etnis Rohingya yang mendapat penolakan baik di negara asalnya hingga di Indonesia.
Menurutnya harus ada solusi yang tepat dari pihak yang menangani Rohingya agar kembali bisa diterima oleh masyarakat.
"Saya hanya kasihan, karena mereka datang ada yang bawa anak-anak dan orang lanjut usia," ujarnya kepada CNNIndonesia.com.
Siaga di Pesisir
Isu kedatangan kapal Rohingya santer terdengar di Sabang dan menjadi pembicaraan serius di setiap warung kopi di Pulau Weh. Bahkan warga di pesisir sudah siap siaga untuk menghalau jika kapal pengungsi Rohingya terlihat dari bibir pantai.
Nelayan-nelayan yang melaut di malam hari juga cukup intens memberi informasi ke daratan terkait situasi di perbatasan laut Sabang dan Andaman.
"Warga di pesisir sudah siaga. Kalau nampak di tengah (kapal Rohingya) langsung halau jangan sampai mendarat," kata Wak Dollah.
Dari informasi yang dia peroleh dari masing-masing pengurus panglima laot di wilayah Sabang, sebagian warga ada yang rela begadang untuk memantau kapal Rohingya yang diisukan akan mendarat lagi di Sabang.
"Pastinya pesisir Sabang ini sudah dijaga sama warga," kata dia.
Hingga saat ini warga Sabang masih menunggu itikad baik UNHCR untuk segera memindahkan pengungsi Rohingya dari dermaga CT 1 BPKS.
UNHCR Tak Jaga Pengungsi
Amatan CNNIndonesia.com sejak Jumat (8/12) pagi hingga malam pukul 22:00 WIB tak ada satupun petugas UNHCR yang hadir ke lokasi penampungan Rohingya.
Hanya ada tiga orang petugas dari Kepolisian pada siang hari yang wira-wiri untuk mengawal saat pembagian makanan kepada etnis Rohingya.
Kemudian pada malam hari, petugas piket jaga juga dibebankan ke pihak kepolisian. Seorang petugas mengaku sudah tiga hari perwakilan UNHCR tidak datang ke lokasi.
"Dari hari Rabu (petugas UNHCR) sudah tidak kelihatan lagi sampai sekarang," kata petugas tersebut yang enggan menyebut nama.
Jika malam hari, tak ada aktifitas pengungsi Rohingya di lokasi penampungan. Mereka terlihat hanya mengobrol satu dengan lainnya. Sementara perempuan mengurus anak-anak untuk segera tidur di lantai yang beralas terpal.
Tagih Janji UNHCR
Asisten Pemerintahan, Keistimewaan Aceh dan Kesejahteraan, Setda Kota Sabang, Naufal menagih kembali janji UNHCR yang memang bertanggung jawab untuk menangani pengungsi Rohingya.
Ia juga sudah mendapat laporan dari masyarakat soal bau yang ditimbulkan dari lokasi penampungan Rohingya di kawasan dermaga CT 1 BPKS Sabang. Laporan itu, kata dia sudah ditindaklanjuti dengan melakukan peninjauan langsung kondisi di lapangan.
"Kita akan cross check lagi ke lapangan tentang kebenaran laporan ini. Apabila memang benar kondisinya seperti itu, tentu kita akan mengkomunikasikan lebih lanjut dengan pihak UNHCR, karena segala hal yang berhubungan dengan penanganan pengungsi, adalah tanggungjawab pihak UNHCR dan IOM," tegasnya.
Naufal berulang kali menegaskan bahwa Pemko Sabang tidak pernah mengeluarkan biaya apapun untuk memenuhi kebutuhan para pengungsi Rohingya. Dan mengenai penyediaan tempat penampungan, yang sifatnya sementara ini, merupakan kesepakatan pada rapat Forkopimda beberapa waktu yang lalu.
"Untuk pembiayaan, yang pastinya sampai saat ini Pemko Sabang tidak pernah mengeluarkan anggaran 1 sen pun untuk mereka. Karena semua hal terkait pengungsi Rohingya adalah kewenangan UNHCR yang bermitra dengan IOM," katanya.
(dra/agt)