Gagal Kaderisasi Parpol & Giur Kekuasaan di Balik Hengkangnya Politisi
Jelang perhelatan pemilihan presiden (Pilpres) 2024, sejumlah politisi memutuskan untuk pindah partai politik (parpol). Sandiaga Uno misalnya, pindah dari Gerindra ke PPP.
Terbaru, politisi senior Maruarar Sirait memutuskan keluar dari PDI Perjuangan (PDIP). Ia mengembalikan kartu tanda anggota PDIP kepada DPP PDIP, Senin (15/1) malam.
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Meutya Hafid, menyebut Maruarar alias Ara akan bergabung dengan salah satu partai di koalisi pendukung Prabowo di Pilpres 2024.
Ia tidak menyebut partai yang dimaksud. Namun, Meutya memastikan Ara tak bergabung dengan Golkar.
"Saya dengar mungkin ke tempat lain, tapi masih ya baru dengar-dengar saja... yang pasti dalam satu koalisi [TKN]," kata Meutya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/1).
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menyatakan pihaknya menerima pengunduran diri Ara. Menurut Hasto, Ara sudah semakin berhasil sebagai pengusaha.
Sebelum ini, banyak politikus yang memutuskan pindah kendaraan politik untuk menghadapi Pemilu 2024. Sandiaga Uno yang memilih keluar dari Gerindra dan berlabuh di PPP. Dia diangkat sebagai Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu).
Kemudian Dedi Mulyadi, mantan kader Partai Golkar yang kini menjadi bakal calon legislatif (bacaleg) dari Partai Gerindra.
Direktur Trias Politika Strategis Agung Baskoro menilai keputusan sejumlah politikus untuk pindah parpol didasari sejumlah hal. Secara rasional, menurut dia, kader parpol yang pindah menjelang Pemilu 2024 karena mempunyai pertimbangan terutama soal kepentingan politik mereka.
"Karena alasan inilah awal mereka masuk. Jika sudah tak lagi didengar, otomatis mereka akan berpindah," ujar Agung kepada CNNIndonesia.com, Selasa (16/1) malam.
Terlebih, jika konteksnya pilpres yang kompetitif seperti saat ini. Agung menuturkan kebanyakan elite parpol ingin berada di kubu pemenang baik calon presiden dan wakil presiden yang didukung, parpol yang dipilih, ataupun perihal kepentingan politik individu.
"Harus diakui bahwa fungsi partai secara internal-eksternal belum maksimal, sehingga ini juga menjadi akar masalah yang menyebabkan kader partai berpindah," ucap dia.
Sementara secara personal, Agung menambahkan kepemimpinan figur ketua umum parpol memiliki peranan signifikan terkait keputusan kader bertahan atau pindah ke tempat lain.
Menurutnya, jika ketua umum punya kapasitas yang kuat, maka kader-kader di bawah akan berpikir ulang untuk pindah.
Kaderisasi parpol tak mengakar
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah berpendapat politikus memiliki kecenderungan untuk berkuasa.
Ketika melihat peluang kekuasaan yang lebih besar, kata Dedi, mereka akan mendekat. Hal itu yang menurut dia terjadi pada diri Maruarar Sirait.
"Untuk Maruarar, ia lebih berorientasi pada kekuasaan. Karena ia sedang tidak berkuasa, gagal membawa dirinya ke parlemen membuatnya serupa dengan Budiman Sudjatmiko," kata Dedi saat dihubungi CNNIndonesia.com melalui pesan tertulis, Selasa.
"Ara sebenarnya tidak banyak pengaruhi PDIP, jadi ini murni soal pencarian peluang berkuasa, dan ia melihat PDIP tidak lagi prospektif," imbuhnya.
Meskipun begitu, Dedi tidak menggeneralisasi pendapatnya tersebut kepada semua politikus. Ia memberi contoh kepindahan Dedi Mulyadi dari Golkar ke Gerindra yang menurutnya tidak dilatarbelakangi orientasi kekuasaan.
"Dedi Mulyadi menjadi salah satu yang tidak berorientasi pada kekuasaan, karena kepindahannya ke Gerindra dari Golkar bukan dalam situasi kekurangan kuasa, tetapi ada faktor lain yang sepertinya karena urusan personal keluarga," ucapnya.
Menurut Dedi, konsolidasi yang tidak baik di internal parpol membuat fenomena kader hengkang dan berpindah ke tempat lain menjadi suatu keniscayaan, terlebih menjelang perhelatan pemilu.
"Partai tidak gagal lakukan konsolidasi, tetapi lebih buruk dari itu. Parpol memang tidak melakukan konsolidasi dengan baik sehingga semua proses pengkaderan hanya bersifat momentum dan tidak mengakar," ucap Dedi.
"Momentum karena hanya terjadi di masa pemilihan, dan tidak mengakar karena memang tidak ada proses berkelanjutan," pungkasnya.
(ryn/tsa)