Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Agustyati menilai secara etik sebaiknya Jokowi menjaga proses penyelenggaraan Pemilu.
Menurutnya, seorang presiden perlu betul-betul netral di tengah banyaknya narasi soal independensi penyelenggaraan Pemilu. Sehingga, bicara netralitas tidak hanya sebagai jargon semata.
Wanita yang akrab disapa Ninis itu berpendapat keikutsertaan Jokowi dalam kampanye Pemilu 2024 berpotensi merusak demokrasi Indonesia. Apalagi, Gibran yang merupakan putra sulung Jokowi menjadi salah satu peserta pilpres.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sejak pencalonannya sudah banyak mendapatkan kritikan. Bahkan MKMK menyatakan ada pelanggaran etik berat terhadap putusan MK. Potensi penggunaan state resources untuk menguntungkan pasangan calon tertentu juga ada," kata Ninis.
Ninis mengatakan jika hanya membaca salah satu pasal, memang tidak ada larangan bagi presiden ataupun menteri untuk kampanye. Karena itu, perlu membaca pasal dalam Undang-undang Pemilu secara utuh.
"Undang-undang hanya mengatur bahwa untuk kampanye harus cuti saat kampanye. Tapi di luar itu yang perlu diantisipasi adalah soal potensi penyalahgunaan wewenangnya," ucap Ninis.
Menurut Bivitri, Jokowi merupakan presiden yang secara terang-terangan menabrak konstitusi dan hukum dibandingkan presiden-presiden sebelumnya.
"Pak Jokowi itu yang paling jelas inkonstitusionalitasnya. Ini yang paling rusak, demokrasi kita benar-benar mundur, kekuasaan presiden terlalu berlebih-lebihan sangat kelihatan dibanding jamannya Pak SBY dan Bu Mega," katanya.
Ia mengatakan politik dinasti tak ada di era pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono(SBY). Politik dinasti muncul ketika Jokowi menjadi presiden.
Meski SBY mendukung putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk menguasai Partai Demokrat, namun ia tak memberi jalan AHY untuk mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres.
Begitu pun dengan Megawati terhadap putrinya, Puan Maharani. Megawati tak berupaya membengkokkan hukum demi karpet merah bagi sang anak.
"Situasi di mana presiden yang masih berkuasa memberikan jalan karpet merah dan fasilitas untuk anaknya itu baru sekarang terjadi," ujar Bivitri.
Ia mengatakan Pasal 282 Undang-undang Pemilu dibuat ketika belum ada kasus empirik tentang nepotisme yang terjadi saat ini. Karena itu, di dalam Undang-undang tidak ada pasal-pasal yang melarang secara ketat terkait kampanye.
"Jadi undang-undangnya memang tidak menyiapkan pasal yang lebih ketat tentang larangan-larangan ini karena dari dulu enggak ada. Ini anomali yang sekarang terjadi," ujarnya.
Hal yang sama disampaikan Ninis. Menurutnya, baik Megawati maupun SBY tak cawe-cawe dalam Pemilu meski saat itu masih menjabat sebagai presiden.
"Kalau dibandingkan dengan presiden sebelumnya situasinya memang berbeda. Di presiden-presiden sebelumnya saat akhir masa jabatan mereka kan tidak diikuti dengan pencalonan kerabat mereka," kata Ninis.
Sementara itu, kata dia, Jokowi sangat terlihat jelas cawe-cawe dalam pencalonan Gibran di Pilpres 2024.
"Ini yang menjadikan saat ini kita bisa merasakan cawe-cawe itu, seperti tadi misalnya saat proses pencalonan yang melalui putusan MK," ucapnya.
Bivitri mengatakan perubahan PP Nomor 32 Tahun 2018menjadi PP Nomor 53 Tahun 2023 yang mengatur menteri hingga wali kota tidak perlu mundur dari jabatan meskipun maju sebagai capres atau cawapres cukup rumit karena merupakan tindaklanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Memang aturan-aturan itu dibuatnya terlalu longgar. Harusnya menteri-menteri yang nyalon, gubernur, wali kota mundur jangan hanya cuti karena enggak mungkin dilepaskan dari jabatan," kata Bivitri.
Menurutnya, seorang pejabat negara tidak mungkin melepaskan diri dari fasilitas negara yang melekat kepada mereka. Ia menyebut sopir, sekretaris, ajudan hingga mobil merupakan fasilitas negara yang sulit dilepaskan.
"Makanya enggak lazim tuh sekadar boleh cuti. Karena dalam kenyataannya tidak mungkin seseorang dilepaskan sepenuhnya dari jabatan yang tengah dia emban apalagi kalau kita bicara jabatan publik," ucapnya.
Selain kemungkinan menggunakan fasilitas negara, kata dia, ada kemungkinan untuk mereka melakukan intimidasi. Sebab, pejabat negara bisa memengaruhi masyarakat.
"Tersirat ataupun tersurat dalam masyarakat Indonesia yang feodalistik ini misalnya Menteri Airlangga kalau dia ngomong dibilang 'hei bawahan pilihlah si x' pasti bawahan akan nurut karena bawahan enggak akan mungkin bisa memisahkan Airlangga secara pribadi dengan jabatan menteri," ujarnya.
Hal yang sama juga terjadi pada Jokowi. Bivitri menilai masyarakat akan melihat pernyataan-pernyataan yang dilontarkan Jokowi sebagai seorang presiden bukan sebagai tukang kayu.
Senada, Ninis menyebut ada potensi baik presiden maupun menteri yang berkampanye mempengaruhi bawahan hingga masyarakat untuk memilih paslon tertentu di Pilpres 2024.
"Potensi ini bisa terjadi, karena psikologis dari ASN adalah mengikuti perintah dari pimpinan," tuturnya.
Ia berpendapat para bawahan itu khawatir jika tak menaati titah atasan, maka hal itu akan turut berdampak pada karier mereka.
"Jika tidak menuruti maka bisa jadi ada kekhawatiran nanti akan berdampak pada karirnya," ucap Ninis.
Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana mengatakan pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut seorang presiden boleh memihak dan berkampanye selama masa Pemilu telah disalahartikan oleh sejumlah pihak.
"Apa yang disampaikan oleh Presiden dalam konteks menjawab pertanyaan media tentang menteri yang ikut tim sukses," kata Ari dalam pesan singkat di Jakarta, Kamis (25/1).
(lna/pmg)