Dosen Fakultas Hukum (FH) Unmul Herdiansyah Hamzah mengatakan pihaknya menilai demokrasi Indonesia dalam ancaman bahaya.
Ia menjelaskan demokrasi yang dibangun di atas darah dan air mata saat reformasi 1998, kini didesak mundur akibat perilaku kekuasaan dan para elite politik. Herdiansyah menyebut upaya tersebut dimulai dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai cacat etik.
Putusan itu dinilai memberi jalan politik dinasti, keterlibatan aparatur negara yang menggadai netralitas, pengangkatan penjabat kepala daerah yang tidak transparan dan terbuka, hingga keperpihakan dan cawe-cawe presiden dalam pemilihan presiden yang membahayakan demokrasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Presiden tidak boleh memihak, setop langkah politik yang hanya ditujukan untuk kepentingan dinastinya. Jokowi adalah presiden seluruh rakyat Indonesia, bukan presiden untuk anak dan keluarganya," tegas Herdiansyah.
Koalisi Dosen Unmul menyerukan kepada seluruh akademisi dan kelompok intelektual lainnya untuk terlibat secara luas dan masif dalam menjaga demokrasi dari ancaman tiran kekuasaan.
Apa yang disampaikan oleh civitas academica di atas menyusul sikap yang lebih dulu ditunjukan Universitas Gadjah Mada (UGM). Guru-guru besar UGM mengkritik pemerintahan Jokowi melalui 'Petisi Bulaksumur'. Mereka menilai Jokowi sebagai salah satu alumnus kampus telah melakukan tindakan-tindakan menyimpang di tengah proses penyelenggaraan negara.
Petisi tersebut dibacakan dibacakan Guru Besar Fakultas Psikologi UGM Koentjoro di Balairung UGM, Sleman, DIY, Rabu (31/1). Ia didampingi sejumlah guru besar lain di UGM dan juga unsur mahasiswa yang diwakili di antaranya oleh Ketua BEM KM Gielbran M. Noor.
Dengan mengingat dan memperhatikan nilai-nilai Pancasila serta jati diri UGM, mereka menyampaikan petisi keprihatinan mendalam atas tindakan menyimpang dari prinsip-prinsip moral demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial oleh sejumlah penyelenggara negara di berbagai lini dan tingkat.
"Kami menyesalkan tindakan-tindakan menyimpang yang justru terjadi dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang juga merupakan bagian dari keluarga besar Universitas Gadjah Mada," bunyi Petisi Bulaksumur yang dibacakan Koentjoro.
Adapun beberapa penyimpangan yang disinggung dalam petisi tersebut antara lain soal pelanggaran etik di MK; keterlibatan aparat penegak hukum dalam proses demokrasi perwakilan yang sedang bergulir; serta pernyataan kontradiktif presiden tentang keterlibatan pejabat publik dalam kampanye politik antara netralitas dan keberpihakan.
Mereka menganggap itu semua sebagai wujud penyimpangan dan ketidakpedulian akan prinsip demokrasi.
Kritik juga muncul dari civitas academica Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. UII mendesak Jokowi untuk kembali jadi teladan dalam etika dan praktik kenegarawanan.
Desakan itu disampaikan melalui pernyataan sikap 'Indonesia Darurat Kenegarawanan' yang turut memuat sejumlah tuntutan lain untuk Jokowi dan pemerintahannya. Pernyataan sikap dibacakan langsung oleh Rektor UII Fathul Wahid.
Jokowi diminta tidak memanfaatkan institusi kepresidenan untuk memenuhi kepentingan politik keluarga melalui keberpihakan pada salah satu pasangan calon presiden-wakil presiden di Pilpres 2024.
Mereka juga menyoroti perkembangan politik nasional yang dianggap semakin mempertontonkan penyalahgunaan kewenangan tanpa malu-malu, dan kekuasaan untuk kepentingan politik praktis sekelompok golongan dengan mengerahkan sumber daya negara.
"Demokrasi Indonesia kian tergerus dan mengalami kemunduran. Kondisi ini kian diperburuk dengan gejala pudarnya sikap kenegarawanan dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo," ujar Fathul.
Kritik juga datang dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Brawijaya (Unibraw) di Malang, Jawa Timur. Mereka menyuarakan kemungkinan reformasi jilid dua lantaran kondisi negara saat ini tidak baik-baik saja.
"Hari ini saatnya bergerak, negara telah kehilangan muruah. Bukan tidak mungkin reformasi jilid II akan terjadi," kata Presiden Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya Rafly Rayhan Al Khajri, Kamis (1/2).
Rafly mengatakan saat ini terjadi penyalahgunaan instrumen hukum oleh Jokowi. BEM Unibraw menilai pengawasan dan penegakan hukum selama masa kampanye pemilu 2024 telah kehilangan fungsinya.
Selain itu, kata Rafly, Jokowi telah mempermainkan hukum dengan mengklaim boleh memihak dan berkampanye. Menurut dia, Jokowi tak membaca UU Pemilu secara utuh.
"Jokowi dan para pembisiknya tidak tahu cara membaca undang-undang. Setiap hari penuh blunder dan klarifikasi," kata Rafly.
(ryh/bac)