Zulkifli menceritakan kisah kampung Islam di Pulau Serangan ini berawal dari orang-orang Bugis yang berada di Makassar, Sulawesi Selatan, melakukan perlawanan kepada VOC. Sebab tak ingin tunduk dengan penjajah mereka pergi dan berlayar menggunakan Kapal Pinisi atau kapal tradisional khas Bugis hingga berlabuh di Pulau Serangan.
"Orang-orang Bugis memang keluar dari Sulawesi karena tidak ingin tunduk dan patuh kepada kebijakan VOC pada saat zaman dulu," ujarnya.
Saat kedatangan para orang-orang Bugis ini, situasi di Pulau Bali bertepatan dengan masa-masa sulit ketika berlangsung peperangan di antara raja-raja di Bali. Saat itu antarkerajaan di Pulau Dewata sedang berseteru untuk memperluas wilayah masing-masing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kala itu, kedatangan para perantau Bugis ini diketahui prajurit laut Kerajaan Pemecutan, Badung. Dari berbagai sumber didapat, saat itu yang memimpin Kerajaan Pemecutan adalah Raja Cokorda Pemecutan III dari Kerajaan Badung.
"Sejarahnya sebelum berdiri masjid ini, ketika orang Bugis itu pergi dari Makassar lalu berlabuh di laut Serangan. Saat itu, situasi di Pulau Bali pada khususnya Kerajaan-kerajaan yang ada itu tidak bagus," ujarnya.
"Artinya, dari satu kerajaan ke kerajaan lain ingin memperluas suatu daerah kekuasaannya. Maka, leluhur kami itu yang lari dari Makassar terdampar di sini ditangkaplah pada saat itu (oleh prajurit), kalau sekarang bahasanya polisi laut atau petugas kerajaan," imbuh Zulkifli.
Kedatangan para orang Bugis ini awalnya sekitar 42 orang yang dipimpin oleh Puak Matoa.
"Berdasarkan yang disampaikan oleh orang-orang tua kita dan berdasarkan kajian ilmiah itu, yang kita tahu adalah Puak Matoah itu adalah orang yang dituakan. Kalau orang Hindu Serangan bilang Wak Gede, artinya orang yang dituakan juga, itu arti dalam Bahasa Bali," ujarnya.
Tertangkapnya para orang Bugis dan menjadi tawanan sampai ke telinga Raja Pemecutan Badung. Awalnya, dikira sebagai mata-mata musuh dari Kerajaan Pemecutan, Badung, lalu dihadapkanlah kepada Raja Badung di Puri Pemecutan.
"Singkat cerita didengarlah para tawanan ini, dan didatangi oleh Raja Pemecutan dan diajak bicara dari hati ke hati. Ditangkapnya leluhur kita pada saat itu, karena kecurigaannya adalah mata-mata dari musuh-musuhnya, sehingga tercapai satu kesimpulan bahwasanya leluhur kami bukan mata-mata," ujarnya.
![]() |
Lalu, Raja Badung meminta para orang-orang Bugis di bawah koordinasi Puak Matoa itu untuk membatu peperangan melawan Kerajaan Mengwi agar memperluas wilayah kekuasaannya. Dan, akhirnya Raja Badung berhasil menaklukkan Kerajaan Mengwi.
Setelah berhasil menaklukan Kerajaan Mengwi, Raja Badung berterimakasih kepada orang-orang Bugis lalu ereka diberi tempat di kawasan Telagi Gendong atau saat ini di sekitar Terminal Tegal, Kota Denpasar. Tetapi, karena jiwa orang-orang Bugis adalah pelaut mereka meminta untuk diberi tempat awal mereka berlabuh yaitu di Pulau Serangan dan akhirnya Raja Badung merestui permintaan mereka.
"Raja berterimakasih atas bantuan orang-orang Bugis dan ditempatkan leluhur kami di Denpasar tempatnya di Telagi Gendong, sekarang di Terminal Tegal. Tetapi, prinsip orang Bugis itu jiwanya adalah pelaut, leluhur kami meminta untuk dikembalikan ke tempat pada saat ditangkap, yaitu di Pulau Serangan," ujarnya.
"Dulu Kampung Bugis ini hutan rimba, banyak dedemit segala macam pemahaman orang-orang dulu. Dikatakan (orang-orang) Puri bahwa itu daerah tidak bagus dan banyak hawa negatif di sana. [Dijawa] 'Tidak apa-apa, nanti kami yang bersihkan', bahasa orang Bugis ini. Yang jelas (leluhur) kami di sana bisa melaut, karena jiwa kami pesisir maka dipindahkanlah ke sini," ujarnya.
Setelah menempati Pulau Serangan, maka mulai tercipta peradaban Kampung Bugis dan dibangunlah rumah adat Bugis, lalu berlanjut membuat tempat ibadah yaitu Masjid As-Syuhada.
"Setelah membuat tempat tinggal, lalu berpikirnya (membuat ) masjid ini. Dan laporlah para sesepuh kami ke Puri Pemecutan, Raja Badung, bahwa kami perlu tempat ibadah sesuai dengan keyakinan kami, maka disetujui dan diberi izin. Dan dibantu materialnya, kayu dan tukangnya, sehingga singkat cerita terbangunlah masjid yang sekarang ini," ujarnya.
![]() |
Seiring perkembangan zaman dan strata pendidikan cukup tinggi sebagian generasi warga Kampung Bugis ada yang memilih untuk tinggal di luar Pulau Serangan.
Kemudian, saat Bulan Ramadan warga di Kampung Bugis banyak menggelar kegiatan di Masjid As-Syuhada, yaitu buka puasa bersama dan shalat tarawih serta tadarus atau mengkhatamkan Al-Qur'an yang juga dilakukan oleh warga sampai anak-anak di tingkat TPQ.
Warga Kampung Bugis di Serangan juga melakukan tradisi pengarakan Al Qur'an tua dengan keliling kampung dan dilakukan pada Bulan 1 Muharam.
Tradisi itu, mereka namakan megelicikan atau mengelilingi kampung Bugis dengan membawa Al Qur'an dan tujuannya untuk tolak bala dan meminta keselamatan.
"Seluruh wilayah administrasi kampung Bugis dengan pembacaan salawat dengan membawa Al Qur'an tua itu, tiga kali berturut-turut keliling kampung selama satu hari itu. Istilahnya, tolak bala, tradisi ini turun menurun kita jalani sampai saya generasi kelima saat ini. Setiap sudut (kampung) kita mengumandangkan azan dan iqomah, kita minta keselamatan agar dijauhkan dari segala bala dan marabahaya," ujar Zulkifli.