Salah satu jalan di wilayah Kebon Sirih, Jakarta Pusat, diubah namanya oleh Pemprov DKI dengan nama 'pendekar pena dari Betawi' pada 2022 silam.
Jalan Srikaya di Kebon Sirih--Kebon Sirih dikenal pula sebagai markas Dewan Pers--diputuskan sejak 2022 lalu memakai nama Mahbub Djunaidi.
Siapakah Mahbub Djunaidi?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikutip dari portal berita resmi Pemprov DKI Jakarta, Mahbub Djunaidi, lahir pada tanggal 27 Juli 1933, dikenal sebagai tokoh pers, politisi, kolumnis, dan agamawan, meskipun lebih terkenal dalam kapasitasnya sebagai penulis daripada sebagai sastrawan. Dia juga dikenal sebagai seorang Nahdliyin alias bagian dari Nahdlatul Ulama.
Laman resmi NU, pernah memprofilkan Mahbub dengan tajuk Pendekar Pena dari Betawi.
"Selain memiliki pendekar silat bernama Pitung, Betawi juga punya pendekar pena yaitu Mahbub Djunaidi. Pitung berjuang dengan gerak silat dan golok, sedangkan Mahbub Djunaidi berjuang dengan pemikiran dan mesin tik. Keduanya sama-sama membela rakyat kecil," demikian ditulis dalam artikel yang dikutip dari NU Online.
Mengutip dari Data Pokok Kebahasaan dan Sastra di Laman Kemendikbud, dituliskan bahwa Mahbub Djunaidi mengawali kehidupan dengan pendidikan di Jakarta hingga menjelajahi dunia politik dan keorganisasian sejak remaja.
Ayahnya bernama Kiai Djunaidi. Ketika perang revolusi mempertahankan kemerdekaan, Mahbub bersama keluarganya mengungsi ke Solo.
Pada usia 19, dia berhasil menjabat sebagai Ketua Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) dan menjadi anggota Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU).
Puncak kariernya dalam dunia organisasi tercapai ketika Mahbub Djunaidi diangkat menjadi Wakil Sekjen Nahdlatul Ulama (NU) dan Wakil Ketua I PBNU untuk dua periode yakni 1970-1979 dan 1984-1989. Sementara di tingkat politik, Partai NU menunjuknya sebagai wakil di DPR-GR/MPRS periode 1977-1982.
Tidak hanya berkiprah di dunia politik, Mahbub Djunaidi juga menorehkan namanya dalam sejarah jurnalistik.
Dia pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Duta Masyarakat (1960-1970), surat kabar yang bernaung di bawah Nahdlatul Ulama. Mahbub Djunaidi juga mengecap sukses sebagai Wakil Ketua PWI Pusat (1963) dan Ketua Umum PWI Pusat (1965-1970).
Namun, daya tarik Mahbub Djunaidi tidak hanya terbatas pada dunia politik dan jurnalistik. Minatnya dalam bidang sastra muncul sejak usia muda. Karya-karyanya yang mencakup sajak, cerita pendek, dan novel telah terpampang dalam berbagai majalah ternama.
![]() |
Di bidang sastra, Mahbub Djunaidi berhasil meraih penghargaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk novelnya 'Dari Hari ke Hari'.
"Novel setebal 147 halaman itu pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1975 dan tahun 1976 diterbitkan kembali oleh Penerbit Pustaka Jaya. Mahbub menyatakan bahwa novel itu sesungguhnya merupakan novel outobiografi tentang pengalaman masa kanak-kanaknya yang membekas dan menimbulkan kenang-kenangan," demikian dikutip dari laman Kemendikbud.
Minat dan kiprahnya di bidang sastra tak terlihat di masa tua saja. Ensiklopedia Sastra Indonesia mencatat karya Mahbub sudah dimuat di sejumlah terbitan sejak dia duduk di bangku sekolah menengah. Beberapa di antaranya di majalah Sahabat yang diterbitkan Balai Pustaka, dan di majalah Pemuda Masyarakat yang diasuh Rosihan Anwar.
Dia pun terkenal sebagai cerpenis produktif kurun waktu 1954-1958.
"HB Jassin mengungkapkan bahwa sebagai pengarang, Mahbub memiliki gaya asli yang tercipta oleh lingkungannya sebagai wartawan bukan sesuatu yang dicari-cari. Tulisannya merupakan campuran antara jurnalistik dan sastra," demikian dikutip dari laman Kemendikbud.
Dengan mengabadikan nama Mahbub Djunaidi sebagai nama jalan di Jakarta, Pemprov DKI tidak hanya menghormati seorang tokoh multitalenta, tetapi juga memberikan penghargaan kepada "Pendekar Pena" yang melibatkan diri dalam berbagai ranah, dari politik hingga sastra.
Toni, seorang kurir yang ditemui di sekitar Jalan H Mahbub Djunaidi menceritakan kondisi jalan yang selalu ramai dilalui pengguna jalan ini.
"Biasa sih macet, tapi tergantung ini sih, kalau Merdeka Barat ditutup ada demo suka macet. Bisa jalan tapi pelan-pelan." katanya ketika ditemui CNNIndonesia.com, Kamis (28/2).
Pekerjaan Toni yang mengharuskannya untuk sering melewati jalan tersebut tidak lantas membuatnya terbiasa dengan perubahan nama jalan yang baru disadarinya sejak satu tahun lalu. Toni masih terbiasa menyebut jalan tersebut sebagai Jalan Srikaya.
"Makanya kalau saya kirim surat, biasanya masih pake Jalan Srikaya. Sampai ujung sana, sampai mentok 'kan, Masjid Cut Meutia." tambahnya.
Walaupun begitu, beberapa warga telah menyetujui perubahan nama jalan yang hanya beberapa langkah dari Stasiun Gondangdia itu.